WahanaNews.co, Jakarta - Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa TNI kini menggunakan istilah Organisasi Papua Merdeka (OPM), merujuk pada Kelompok Separatis Teroris (KST) dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Nugraha Gumilar menjelaskan alasan di balik perubahan istilah tersebut.
Baca Juga:
Jenazah 2 Tukang Ojek Korban Penembakan KKB Puncak Jaya Diterbangkan ke Makassar
Dia menjelaskan bahwa perubahan dari istilah KKB menjadi OPM dilakukan untuk menegaskan bahwa OPM dianggap sebagai pasukan militer atau kombatan.
Menurut hukum humaniter, tambahnya, pasukan militer atau kombatan memiliki status yang diakui dan dilindungi, termasuk dalam konflik bersenjata.
Dia juga menekankan bahwa meskipun disebut sebagai OPM, kelompok tersebut tetap melakukan tindakan brutal seperti pembakaran fasilitas umum, pembunuhan, pemerkosaan, tindak teror, dan penghadangan terhadap TNI yang sedang melaksanakan tugas kemanusiaan seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Baca Juga:
Dua Tukang Ojek Tewas, Diduga Ditembak KKB
Oleh karena itu, tindakan tegas akan diterapkan terhadap mereka.
Melansir Tempo, perubahan sebutan KST dan KKB menjadi OPM tersebut mendapat respons dari berbagai pihak, termasuk dari kelompok hak asasi manusia (HAM) hingga Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
1. TPNPB-OPM: Kami Perang Terus sampai Papua Merdeka
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menanggapi kabar TNI yang kembali menggunakan istilah OPM alih-alih Kelompok Separatis Teroris (KST) dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
“Eskalasi serangan akan meningkat. Posisi kami (TPNPB) tetap lawan,” kata Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, melansir Tempo, Sabtu (13/4/2024).
Menurut dia, perubahan penggunaan istilah KST atau KKB menjadi OPM hanya langkah TNI dalam menduduki Papua. “Itu posisi pemerintah kolonial Indonesia. Kami perang terus sampai Papua merdeka,” ujar Sebby.
2. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro: Pemerintah Harus Mengedepankan Penegakan Hukum
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengatakan Panglima TNI memiliki kewenangan dan pertimbangan mengenai perubahan istilah ini.
Komnas HAM, kata dia, perlu mempelajari implikasi dari kebijakan pemerintah ini, termasuk mempelajari peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan kebijakan itu.
Dalam beberapa pekan terakhir, kata Atnike, Komnas HAM mencatat situasi yang memprihatinkan di Papua. Terdapat korban yang berjatuhan baik dari warga sipil dan juga TNI/Polri.
"Hal ini barangkali yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengubah terminologi tersebut," ucap Atnike saat dihubungi Tempo pada Jumat, 12 April 2024.
Atnike menyebut Komnas HAM selaku lembaga HAM tetap meminta pemerintah mengedepankan penegakan hukum terhadap setiap pelaku kekerasan di Papua, termasuk yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata.
Dalam hal kebijakan keamanan di Papua, Komnas HAM berharap pemerintah tetap menggunakan pendekatan yang terukur untuk memastikan agar tidak terjadi korban jiwa baik di kalangan warga sipil maupun TNI/Polri. Pendekatan yang terukur juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM.
3. KontraS: Bisa Berdampak pada Keamanan Masyarakat Sipil di Papua
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mendesak pemerintah memitigasi dampak dari perubahan istilah KKB di Papua menjadi OPM.
Menurut KontraS, perubahan istilah ini bisa berdampak pada keamanan masyarakat sipil di Papua.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, mengatakan perubahan nama itu harus diikuti dengan jaminan perlindungan dari negara bagi masyarakat di Papua.
"Terutama untuk menjaga supaya tidak ada korban yang kembali berjatuhan," ucap Dimas saat dihubungi Tempo pada Jumat, 12 April 2024.
Dimas menjelaskan, ketika suatu negara menyebut suatu kelompok sebagai tentara pemberontak, ada kewajiban mematuhi sejumlah aturan dalam hukum internasional.
Pertama, negara harus mengumumkan mengenai kondisi konflik bersenjata yang terjadi di Papua.
Negara harus memberikan sinyal kepada warga sipil dan organisasi internasional untuk dapat melakukan pengawasan terhadap berlangsungnya konflik tersebut.
Kedua, hukum internasional juga mengatur senjata atau alat yang digunakan dalam konflik bersenjata. Penggunaan senjata yang tidak manusiawi dan berpotensi besar mengakibatkan dampak yang besar, tidak boleh dipakai.
Ketiga, pemerintah harus melakukan mitigasi terhadap warga sipil. Pihak-pihak yang berkonflik tidak boleh menyerang warga sipil, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas umum lainnya seperti gedung gereja.
4. Veronica Koman: TNI Ingin Ambil Alih Penanganan Konflik Papua
Aktivis HAM untuk Papua, Veronica Koman, menilai keputusan TNI kembali menggunakan istilah OPM karena ingin menangani konflik di Papua lebih dalam.
“Ini mengindikasikan TNI hendak mengambil alih atau mengambil porsi yang lebih besar dalam penanganan situasi Papua, dari operasi penegakan hukumnya sipil Polri ke militer TNI,” kata Veronica kepada Tempo, Senin, 8 April 2024.
Menurut dia, operasi aparat di Papua sejauh ini terkesan hanya penyebutannya saja sebagai penegakan hukum, tetapi implementasinya seperti operasi militer. “Jadi pengakuan ini tak berarti buruk, melainkan fair,” ujarnya.
Veronica menyebutkan ada perbedaan pendekatan antara TNI dan Polri dalam menghadapi gerakan pembebasan Papua. Perbedaan istilah di mana Polri menggunakan KKB dan TNI menggunakan penyebutan OPM semakin mempertegas perbedaan pendekatan itu.
Ia menuturkan istilah KKB berarti memasukkan aktor kemerdekaan Papua ke ranah penegakan hukum, yang memang ranahnya Polri. Sedangkan istilah OPM berarti pengakuan atas adanya perang kemerdekaan di Papua.
“Hukum humaniter internasional yang akan berlaku, dan TNI menjadi ujung tombaknya,” kata Veronica.
5. Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf: Tidak akan Menyelesaikan Konflik di Papua
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengatakan penggantian terminologi KKB menjadi OPM justru bisa membuat masalah baru di Papua. Perubahan cara menyebut kelompok bersenjata di Papua itu, kata dia, tidak menyentuh inti dari konflik yang ada.
“Penggunaan istilah OPM kembali di Papua sesungguhnya tidak akan menyelesaikan masalah dan konflik di Papua,” kata Al Araf saat dihubungi pada Kamis, 11 April 2024.
Dia mengatakan penggantian itu malah bisa memunculkan stigma buruk kepada masyarakat Papua. Selain itu, kata dia, penyebutan OPM memiliki kecenderungan pendekatan operasi militer dalam menghadapi konflik.
Padahal, Al Araf menilai pemerintah dan TNI seharusnya mengedepankan pendekatan yang lebih dialogis dalam menyelesaikan konflik Papua. “Bukan dengan penamaan istilah OPM dan operasi militer,” ucap dia.
Menurut dia, pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengubah pendekatan mereka terhadap konflik di Papua. Beberapa nama yang digunakan pemerintah Indonesia di antaranya adalah OPM, KKB, organisasi teroris, hingga orang tak dikenal (OTK).
“Perubahan nama itu sesungguhnya hanya upaya pemerintah dalam meningkatkan eskalasi pendekatan penyelesaian (konflik), dari pendekatan operasi militer, berubah penegakan hukum, berubah operasi teroris, dan berubah lagi sekarang operasi militer,” ujar Al Araf.
Dibanding mengganti istilah KKB menjadi OPM, Al Araf mengatakan pemerintah seharusnya berfokus memikirkan cara penyelesaian konflik secara damai dan melalui dialog.
Dia mengimbau semua pihak yang terlibat dalam konflik Papua mulai mendorong gencatan senjata dan maju ke meja perundingan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]