WahanaNews.co | Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menilai perlunya ruang media sosial yang sehat dalam rangka sosialisasi dan pendidikan politik bagi pemilih muda jelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Menurutnya, hal tersebut penting dilakukan agar partisipasi politik anak muda lebih meningkat dari sisi kuantitas dan kualitasnya.
Baca Juga:
Kondusif di Tahun Politik, Pimpinan Media Nasional Apresiasi Kinerja Pj Gubernur Sulsel
Arfianto membeberkan hasil angket yang dilakukan TII pada 26 Juli-12 Agustus 2022.
Berdasarkan survei yang dilakukan menggunakan metode snowballing yang melibatkan 85 responden anak muda dengan rentang usia 17 hingga 30 tahun, menunjukan 88 persen anak muda mengetahui dinamika sosial, politik, hukum, dan ekonomi berdasarkan media sosial.
Kemudian 89 persen anak muda mengetahui penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Baca Juga:
Tahun Politik, Ekonom Wanti-wanti Investasi Asing Turun
Selanjutnya, responden yang mengetahui Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, sebanyak 76 persen mendapatkan informasi dari media sosial.
Arfianto menuturkan, berdasarkan temuan angket TII tersebut, media sosial merupakan saluran informasi yang dekat dengan anak muda.
Konsekuensi dari hal tersebut yaitu, pertama, anak muda untuk mendapatkan informasi tentang dinamika sosial politik bergantung pada informasi yang beredar di media sosial.
Melihat ketergantungan itu, maka diharapkan media sosial dapat bersih dari berita bohong maupun ujaran kebencian berbasis politik identitas.
Hal tersebut dianggap Arfianto menjadi penting agar informasi yang beredar dapat menjadi ruang sosialisasi dan pendidikan politik yang baik bagi pemilih muda.
"Kedua, anak muda yang mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang dinamika sosial politik dari media sosial, menjadikannya sebagai pemilih yang rasional. Pemilih rasional diasumsikan mempunyai kemampuan untuk menilai tentang isu-isu maupun kandidat yang diajukan dalam Pemilu," paparnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sebagai pemilih yang rasional, anak muda akan cenderung lebih evaluatif dan kritis terhadap dinamika sosial politik hari ini.
Hal tersebut terlihat dari beberapa peristiwa yang terjadi beberapa waktu belakangan.
Misalnya, anak muda melakukan aksi penolakan di media sosial, serta aksi unjuk rasa besar-besaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK), RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), dan RUU Cipta Kerja.
"Jika dikaitkan dengan jelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, bisa jadi pemilih muda akan mengevaluasi partai-partai atau kandidat yang tidak sejalan dengan penilaian mereka dan mereka mungkin tidak lagi memilih partai-partai tersebut di tahun 2024," paparnya.
Berdasarkan hasil tersebut, Arfianto menyampaikan sejumlah rekomendasi.
Pertama, penting bagi partai politik untuk memberikan solusi terkait keresahan anak muda dan menawarkan program yang realistis dalam kampanyenya, maupun dalam posisinya, baik di ranah legislatif maupun eksekutif.
Selain itu, partai politik juga harus menghadirkan tokoh yang memiliki pengalaman dalam mengatasi permasalahan tersebut, agar juga dapat menjadi poin plus bagi partai politik.
Kedua, partai politik serta kandidat capres dan cawapres perlu didorong untuk memberikan pendidikan politik yang baik, dengan memberikan informasi tentang visi, misi, dan program yang ditawarkan kepada kaum muda melalui media sosial.
Itu juga diikuti dengan tidak lagi saling serang antar pesaing dalam kompetisi politik, dengan menggunakan berita bohong dan memanipulasi politik identitas.
Ketiga, mendorong, penyelenggara pemilu dan pilkada, baik KPU dan Bawaslu untuk menambahkan pengaturan dan penjelasan terkait dengan kampanye di media sosial.
KPU bersama dengan Bawaslu harus membuat aturan tentang penyelenggaraan kampanye di media sosial, termasuk ketentuan tentang batasan konten yang boleh dan tidak boleh untuk ditampilkan di media sosial.
Keempat, KPU, Bawaslu, Organisasi Masyarakat Sipil dan institusi pendidikan (sekolah dan universitas) bekerja sama untuk meningkatkan kegiatan pendidikan politik untuk anak muda.
"Misalnya, dengan menggelar sosialisasi dalam bentuk diskusi dan sebagainya yang melibatkan multipihak yang relevan dengan topik ini." [gun]