WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gelombang korupsi kembali mengguncang Sumatera Utara. Proyek pembangunan dan pemeliharaan jalan yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah, ternyata menjadi ladang bancakan segelintir pejabat dan pengusaha.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun bergerak cepat, menangkap lima orang dalam operasi senyap di sejumlah titik pada Kamis (26/6/2025) malam.
Baca Juga:
Peralihan Sepihak SHM Tanah di Ceger, Pengamat: Ini Ulah Mafia Tanah
Operasi tangkap tangan (OTT) ini menyeret pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumut serta Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut.
Tak berhenti di situ, sorotan kini mengarah ke orang nomor satu di provinsi tersebut, Gubernur Bobby Nasution.
KPK memastikan, Bobby bisa saja dipanggil jika keterangannya dianggap penting untuk membuka benang kusut mega proyek jalan yang diduga penuh manipulasi dan suap ini.
Baca Juga:
ATC dan PPAT Siapkan 49 Unit Ambulan Jelang Mudik Lebaran 2024
"Kalau memang bergerak ke salah satu orang, misal ke Kadis lain, atau gubernurnya. Tentu akan kami minta keterangan, kami akan panggil. Tunggu saja ya," kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers, Sabtu (28/6/2025).
Proyek Fiktif dan Suap Sistematis
KPK mengungkap bahwa kasus ini mencakup dua klaster proyek berbeda. Pertama, proyek pembangunan jalan di lingkungan Dinas PUPR. Kedua, proyek preservasi atau pemeliharaan jalan di bawah Satker PJN Wilayah I Sumut.
Nilai proyek yang disorot KPK mencengangkan:
Jalan Sipiongot – Batas Labuhanbatu Selatan: Rp 96 miliar
Jalan Hutaimbaru – Sipiongot: Rp 61,8 miliar
Proyek preservasi Sp Kota Pinang – Gunung Tua – Sp. Pal XI tahun 2023: Rp 56,5 miliar
Proyek lanjutan tahun 2024 dan 2025: Rp 17,5 miliar dan proyek longsor lainnya.
"Total nilai proyek setidaknya sejumlah Rp 231,8 miliar. KPK masih akan menelusuri dan mendalami proyek-proyek lainnya," ujar Asep.
Proyek Tanpa Lelang
Modus korupsi dilakukan dengan sangat terstruktur. Pada April 2025, Direktur Utama PT DNG, KIR, bersama Kepala Dinas PUPR Sumut, TOP, dan Kepala UPTD Gunung Tua, RES, meninjau langsung lokasi proyek di Sipiongot.
Dalam pertemuan itu, TOP memerintahkan agar proyek senilai Rp 157,8 miliar langsung diberikan kepada KIR, tanpa proses lelang.
Setelahnya, KIR dan timnya menyiasati sistem e-katalog agar perusahaan mereka keluar sebagai pemenang tender.
Pengaturan ini juga melibatkan RES dan staf UPTD. Untuk mengaburkan jejak, proyek lain dipisah-pisahkan agar tak menimbulkan kecurigaan.
Sebagai imbalan, RES menerima uang dari KIR dan RAY (anak KIR yang menjadi Direktur PT RN). Aliran dana juga mengalir ke TOP melalui perantara.
Proyek Nasional Ikut Tercemar
Kasus ini makin meruncing ketika KPK menemukan indikasi keterlibatan pejabat di level pusat. Heliyanto (HEL), selaku PPK Satker PJN Wilayah I Sumut, diduga menerima Rp 120 juta dari KIR dan RAY sejak Maret 2024 hingga Juni 2025.
Uang itu disebut sebagai "komitmen fee" agar PT DNG dan PT RN, dua perusahaan keluarga KIR, dimenangkan dalam proyek strategis bernilai ratusan miliar.
Lima Tersangka Ditahan, Uang Rp 231 Juta Disita
KPK resmi menetapkan lima tersangka:
TOP – Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara
RES – Kepala UPTD Gunung Tua merangkap PPK
HEL – PPK Satker PJN Wilayah I Sumut
KIR – Direktur Utama PT DNG
RAY – Direktur PT RN
Kelima tersangka ditahan selama 20 hari ke depan, dari 28 Juni hingga 17 Juli 2025. KPK juga menyita uang tunai Rp 231 juta yang diduga berasal dari transaksi haram proyek-proyek tersebut.
Meski belum ada bukti langsung keterlibatan, posisi Bobby Nasution sebagai Gubernur tetap membuat namanya ikut diseret dalam perbincangan publik.
KPK pun tak menutup kemungkinan untuk minta keterangan pada Bobby.
"Tentu kami akan panggil, akan kami minta keterangan, apa dan bagaimana sehingga uang ini bisa sampai kepada yang bersangkutan," kata Asep.
Ia menambahkan, KPK akan mengikuti aliran dana bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Kami bergerak bersama dengan PPATK untuk melihat ke mana saja yang itu bergerak."
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]