WahanaNews.co, Jakarta - Batara Ningrat Simatupang (25 Mei 1932–27 Mei 2018) adalah seorang ekonom dan tokoh sosialis Indonesia yang menghabiskan hampir setengah abad di luar negeri karena alasan politik di Indonesia yang tidak mengizinkannya pulang ke tanah air.
Lahir sebagai anak ketujuh dari pasangan Simon Simatupang, seorang pegawai Pos di Pematangsiantar, dan Mina Sibuea, Batara memiliki dua saudara kandung yang terkenal, yaitu Letjen T.B. Simatupang, seorang tokoh militer dan gereja, serta Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi-Simatupang, seorang antropolog.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
Mengutip Wikipedia, pendidikan Batara dimulai di kota kelahirannya, diikuti oleh SMA Jl. Batu di Jakarta Pusat, dan kemudian melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, di mana ia bahkan menjadi asisten dari Prof. Dr. Sadli, yang kemudian menjabat sebagai menteri dalam kabinet Orde Baru.
Setelah menyelesaikan pendidikan di FE-UI, ia dikirim oleh fakultas untuk melanjutkan studi di Universitas Stanford, di Palo Alto, California, Amerika Serikat, di mana ia berbagi pengalaman dengan teman-temannya seperti Emil Salim, Saleh Affif, dan lainnya.
Di Stanford, ia bertemu dengan Prof. Paul Barant, seorang tokoh kiri Amerika, yang menjadi sumber inspirasinya untuk mempelajari sosialisme, model pembangunan sosialis, dan sistem sosialisme.
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
Batara hanya tinggal selama dua tahun di Stanford, karena pimpinan FE-UI kemudian memintanya mempelajari dan meneliti sistem ekonomi sosialis di Beograd, Yugoslavia.
Karena itu pada 1961 ia pindah dan tinggal di Beograd selama dua tahun hingga 1963.
Pada 1963-1964 ia pindah lagi ke Warsawa, Polandia untuk belajar di program Kursus Lanjutan dalam Program Perencanaan Ekonomi Nasional di negara tersebut.
Setelah mengikuti program tersebut, kembali oleh pimpinan FE-UI, ia diminta untuk mengambil program doktor dalam Ilmu Ekonomi Sosialis di Universitas Warsawa.
Tugas ini tak sempat diselesaikannya, karena pada tahun 1966 - tak lama setelah Tragedi G30S, Kedutaan Besar Indonesia di Warsawa atas nama pemerintah Orde Baru menuding Batara tak beriktikad baik terhadap Indonesia.
Paspornya dicabut, sehingga ia pun kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Batara mengajukan permohonan suaka kepada pemerintah Polandia, dan ia diizinkan tinggal di negara itu hingga 1969.
Pada 1970, Batara pindah ke Jerman Barat, meminta suaka dari negara itu, dan tinggal di Mainz. Ia tinggal di negara itu hingga tahun 1977 dan hidup sebagai buruh kasar hanya sekadar untuk bertahan hidup.
Kadang-kadang ia bekerja di pabrik cat, sambil mengambil kuliah di Universitas Mainz.
Pada 1978 ia pindah ke Belanda, memperoleh beasiswa dari Universitas Vrije di Amsterdam dan selama dua tahun hingga 1979 ia melakukan penelitian tentang sejarah perekonomian Indonesia.
Pada 1980 ia bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Amsterdam, dengan spesialisasi sistem ekonomi sosialis Eropa Tengah dan Timur.
Ia banyak menulis mengenai ekonomi sosialis negara-negara Eropa Timur di berbagai jurnal ilmiah Belanda dan internasional.
Ia juga sering menjadi pembicara di berbagai seminar dan diundang sebagai pembahas masalah ekonomi di Radio Hilversum.
Tak terpungkiri, Batara adalah seorang cendekia berwawasan kemasyarakatan mendalam. Kesibukan
intelektualnya nyaris tak memberi peluang giat dalam aktivisme LSM seperti Kommittee Indonesie yang dipimpin Prof. W.F. Wertheim.
Adalah Wertheim yang memperkenalkan Batara kepada Prof. M. Ellman, pakar ekonomi Eropa Timur, yang kemudian memberi Batara peluang menulis dissertasi tentang krisis ekonomi Polandia 1978-1982.
Kajian ini berkembang menjadi buku The Polish Economic Crisis. Background, Causes and Aftermath (1991). Dia pensiun pada 1997. Di masa 1980-an itulah Batara produktif mempublikasi puluhan artikel ilmiah dan
memoranda.
Karibnya, Emil, mengatakan, “Pribadi Batara selaku ilmuwan intelektual bersinar kembali”.
Meski begitu, Batara tak absen dalam aktivisme HAM dan pro-demokrasi Indonesia di Belanda. Di era kejayaan Orde Baru di tahun 1980-an, dia rajin membantu publikasi bulanan Berita Indonesia, periodik kritis Tanah Air, juga menjadi mentor 'Diskusi Rabu' di rumahnya di Vinkenstraat No. 1 dan di markas aktivis di Tuinstraat, Amsterdam.
Bulan Februari 1992, ia memperoleh gelar Ph.D. dalam ilmu ekonomi setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "The Polish Economic Crisis 1979-1982," di Universitas Amsterdam.
Sejak Mei 1995 Batara diangkat menjadi peneliti tamu di FE Universitas Amsterdam. Ketika ia berusia 65 tahun, pada 1997, ia pun pensiun.
Pada 1985, setelah hampir selama 15 tahun tanpa kewarganegaraan, Batara resmi menjadi warga negara Belanda.
Meskipun demikian, pemerintah Orde Baru tetap tidak mengizinkannya masuk ke Indonesia, sehingga ketika ibunya meninggal dunia pada 1986 di Porsea, ia tidak dapat menghadiri pemakamannya.
Meskipun demikian, Batara masih sempat bertemu dengan ibunya ketika pada 1974 ibunya terbang ke Singapura dan menemui anaknya tercinta di negara itu. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, Batara dapat kembali ke Indonesia.
Selama rezim Orde Baru berkuasa, Batara tak diizinkan masuk ke Indonesia. Akibatnya, ia tak bisa melihat ibunya, Mina boru Sibuea.
Tapi, di usia 82 tahun, pada 1974, Mina terpaksa terbang ke Singapura, untuk bertemu dengan anak ketujuhnya tersebut.
Tapi, tatkala Mina meninggal di usia 94 tahun, pada 1986 di Porsea, Batara tak bisa datang karena tak diizinkan masuk Indonesia.
"Tapi setelah Orde Baru tumbang, saya mudah masuk ke Indonesia, tak ada persoalan. Dan kalau kesehatan saya baik, saya akan tiap tahun datang ke Indonesia, tinggal empat sampai enam bulan," katanya.
Pada 11 April 1985, Batara menikah dengan Dra. Sekartini Markiahtoen Nawawi yang berasal dari Jawa Barat, dan pernah menjadi dosen di IKIP Bandung.
Sekartini, dengan penuh kasih selalu mendampingi Sang Pendekar yang gagah dan gigih itu, hingga akhir
hayatnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]