WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rumah yang dianggap berhantu sering kali lebih sulit dijual, bahkan dengan harga paling murah sekalipun.
Hal ini disebabkan oleh kepercayaan bahwa tinggal di rumah berhantu dapat membawa gangguan dari makhluk halus, sehingga membuat penghuninya tidak merasa nyaman.
Baca Juga:
Warga Parsoburan Berjibaku Padamkan Api, Disebut Damkar Pemkab Muncul Setelah Pemadaman Hampir Rampung
Meski banyak orang belum pernah melihat hantu secara langsung, cerita tentang rumah angker tetap dapat memengaruhi persepsi mereka.
Ketakutan dan sugesti sering kali membuat seseorang enggan memasuki properti yang memiliki reputasi seram.
Anggapan mengenai rumah berhantu umumnya berkaitan dengan sejarah kelam yang melekat pada bangunan tersebut, seperti kematian tragis atau peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di sana.
Baca Juga:
Sarjana Pertanian di Malang Tanam Ganja di Loteng Rumah Pakai Pollybag, 62 Pohon Disita
Banyak yang percaya bahwa rumah semacam itu "menyimpan" energi dari kejadian traumatis tersebut.
Namun, bertolak belakang dengan anggapan menyeramkan yang berkembang di masyarakat, sebuah penelitian yang dilansir IFL Science justru mengungkapkan bahwa rumah angker bisa memberikan manfaat bagi kesehatan melalui fenomena yang disebut "recreational fear" atau ketakutan rekreasional.
Ketika seseorang berada di lingkungan yang dianggap menakutkan, sistem adrenergik dalam tubuh akan aktif.
Sistem ini memicu pelepasan hormon yang mengatur respons "melawan atau lari" ketika menghadapi bahaya.
Aktivasi sistem ini juga mempercepat detak jantung dan secara sementara menurunkan aktivitas sistem imun, yang dapat membantu mengurangi peradangan terkait penyakit kronis.
Perasaan yang muncul dalam situasi ini bukanlah kecemasan, melainkan kombinasi antara ketakutan dan kesenangan—mirip dengan sensasi saat menonton film horor, mengunjungi wahana rumah hantu, atau melakukan olahraga ekstrem.
Selain itu, sebuah penelitian di Denmark meneliti bagaimana pengalaman di rumah hantu memengaruhi respons imun tubuh.
Penelitian ini melibatkan 113 relawan dengan rata-rata usia 29 tahun yang diminta untuk memasuki rumah hantu di Vejle, Denmark.
Di dalamnya, mereka menghadapi berbagai kejutan dari badut-badut seram dan hantu yang mengejar serta menakut-nakuti mereka dengan properti tambahan.
Para peneliti mengukur detak jantung peserta serta mengambil tiga sampel darah—sebelum memasuki rumah hantu, setelah keluar, dan tiga hari kemudian.
Sampel ini dianalisis untuk menilai penanda inflamasi (hs-CRP) dan jumlah sel imun (leukosit).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami ketakutan, tingkat peradangan dalam tubuh peserta mengalami penurunan.
Di antara peserta dengan kadar CRP tinggi, 82 persen mengalami penurunan kadar hs-CRP setelah tiga hari, yang menunjukkan adanya efek positif dalam mengurangi peradangan. Beberapa peserta juga mengalami peningkatan jumlah sel imun setelah merasakan sensasi ketakutan.
Frank Andrean, seorang peneliti di bidang psikoneuroimunologi, menjelaskan bahwa rasa takut yang dikendalikan dapat memberikan efek positif pada tubuh.
"Ketakutan dalam konteks yang aman, seperti di rumah hantu atau saat menonton film horor, dapat memicu reaksi fisiologis yang sebenarnya menguntungkan. Tubuh kita belajar mengelola stres dengan lebih baik, sehingga dalam jangka panjang bisa membantu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit," ujar Andrean.
Namun, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, seperti jangka waktu yang pendek, tidak adanya kelompok kontrol, serta potensi pengaruh dari faktor lain seperti konsumsi alkohol atau merokok.
Meskipun demikian, temuan ini menunjukkan bahwa rasa takut rekreasional mungkin memiliki dampak positif terhadap sistem imun, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]