WahanaNews.co | Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan, sangat
sedikit petani Indonesia yang berasal dari kalangan anak muda seperti kaum milenial.
Sebanyak 71 persen petani Indonesia
berusia 45 tahun ke atas, dan yang di bawah 45 tahun hanya 29
persen.
Baca Juga:
Joint Mission Indonesia-Malaysia Temui Pejabat Kunci Uni Eropa Terkait Diskriminasi Sawit
Hal tersebut diungkapkannya saat
membuka pelatihan petani yang digelar Kementerian Pertanian (Kementan) pada
Jumat (6/8/2021).
Dia pun kemudian meminta generasi muda terjun ke pertanian.
Pertanyaannya, kenapa anak muda
Indonesia enggan jadi petani?
Baca Juga:
Program PSR PTPN V Bantu Petani Sawit Tingkatkan Produktivitas
Djono Albar Burhan, seorang petani
milenial, mengatakan, salah satu alasan anak muda enggan jadi petani, karena mereka gengsi.
Pria berusia 27 tahun ini menilai, masih banyak yang menganggap bahwa bekerja
sebagai petani berarti harus seharian di sawah, sambil
kena panas matahari, beda dengan bekerja di kantoran.
"Padahal, anak muda
yang mau jadi petani saat ini tidak harus selalu bekerja seperti orangtua kita
dulu. Sekarang ada teknologi, bisa kembangkan itu, termasuk
pengelolaan keuangannya. Menjadi petani yang naik kelas," kata dia kepada wartawan, Kamis (19/8/2021).
Djono merupakan anak petani kelapa
sawit kelahiran Pekanbaru, Riau.
Dia berhasil kuliah S2 di Universitas
Auckland, Selandia Baru.
Beberapa orang di sekitarnya sempat
memandang sebelah mata keputusannya hanya menjadi petani sawit, padahal lulusan
luar negeri.
"Mereka selalu bertanya, "Lu udah S2 dari luar
negeri, kok mau balik jadi petani sawit?" Itu pertanyaan paling banyak yang
saya terima," katanya.
Pertanyaan seperti itu, dijawab Djono dengan menyampaikan kebermanfaatan
yang didapatnya.
Jika menjadi PNS atau karyawan swasta,
pendapatan yang diterima terbilang hanya untuk diri sendiri.
Tapi, kalau
menjadi petani, dalam hal ini adalah wiraswasta,
manfaatnya lebih besar, karena membantu petani lain dalam
mengelola lahannya.
Sebagai contoh, Djono yang lulusan
bidang Bisnis Internasional Universitas Auckland ini memandang, ilmu yang didapatnya akan lebih berguna jika dibagikan ke petani
sawit di kampungnya.
Misalnya,
menerapkan teknologi dan manajemen keuangan yang selama ini nyaris tidak
dilakukan ayahnya sebagai petani.
"Sebelumnya, mengumpulkan hasil panen di buku besar, berantakan. Saat ingin
kalkulasikan berapa laba-rugi sebulan, petani dulu enggak
ngitung itu. Kalau sekarang, dengan ilmu kita yang meningkat, kita tahu
pengelolaan keuangan, kita bisa hitung, yang paling simple pakai excel,"
kata dia.
Dari sisi produksi ini, adanya
teknologi drone yang bisa melihat
kondisi kebun dari atas juga sangat membantu.
Jadi, petani bisa mengetahui, lahan mana yang tidak produktif.
Peran teknologi juga penting dalam
pembibitan dan pemupukan.
Jika orangtuanya dulu membeli bibit
hanya sekadarnya, kini bibit kelapa sawit bisa lebih dulu dicek kualitasnya.
Begitu pun penggunaan pupuk agar
produksi tanaman maksimal.
Dari sisi harga, saat ini petani juga
bisa mengeceknya untuk menghindari permainan saat dibeli Pabrik Kelapa Sawit
(PKS).
Dia juga membuat branding usaha tani kelapa sawit bapaknya dengan nama BK Corporation.
Branding ini membuat
petani sawit naik kelas, tidak hanya sekadar punya kebun.
"Jadi, saya
langsung jawab mereka, kalau saya lebih pilih jadi
wiraswasta dan memberikan manfaat besar ke masyarakat. Kalau kita punya ilmu,
ya share (bagikan), efeknya akan
lebih besar ketimbang jadi pegawai swasta atau PNS," ujarnya.
Kini, bersama Koperasi Petani Sawit
Milenial Setara dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Djono
mengajak anak-anak yang berasal dari keluarga petani kelapa sawit untuk mau
mengurus sawit keluarganya.
Banyak Lulusan Pertanian Lebih Pilih Jadi Petani Korporat
Kurangnya keinginan anak muda,
utamanya yang lulusan sarjana bidang pertanian, juga diungkapkan Fatoni
Saputra.
Sebagai lulusan dari Institut
Pertanian Bogor (IPB), dia mengakui jika di jurusannya saja banyak yang enggan
jadi petani.
Fatoni, atau
biasa dipanggil Putra, merupakan sarjana di bidang Teknologi
Industri Benih IPB.
Selepas dari IPB, dia mendirikan
organisasi non-profit bernama Vila Tani Indonesia
untuk memberdayakan petani, dari sisi ilmu bertani, pendanaan, hingga
pemasaran.
Tapi, dia hanya
satu dari sedikit banyak lulusan IPB yang mengambil langkah itu.
"Hanya 1 persen yang mau jadi
petani. Di Angkatan saya, ada 120 orang, yang terjun enggak
sampai 10 orang. Ada di pertanian, tapi di korporat, di BUMN, atau jadi PNS bidang pertanian. Kalau di
pemberdayaan petani, ya paling di jurusan hanya saya," kata dia.
Menurutnya, banyak anak muda enggan jadi petani beneran
karena profesi ini dianggap tidak menjanjikan.
Sektor pertanian terkesan kumuh, tidak
sekeren bekerja di kantoran.
Belum lagi, tingkat kesejahteraannya
rendah.
Namun, kondisi
itu seharusnya bisa menjadi tantangan bagi para lulusan sarjana pertanian.
Arlina Maharatih, salah satu lulusan
bidang pertanian di IPB, mengatakan, untuk menjadi petani perlu mental
yang kuat, karena sama seperti menjadi pengusaha.
Beda halnya dengan bekerja menjadi
karyawan.
Sebagai alumni IPB, dia pun memilih
mendirikan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini biMBA-AIUEO di rumahnya setelah
tidak lagi bekerja di sebuah perusahaan.
"Mungkin kenapa anak muda banyak
yang enggak milih jadi petani itu, ya karena mereka mau cari aman,
enggak mau ambil risiko," katanya. [dhn]