"Semakin tinggi kapasitas kerja memori, semakin besar
pula kemungkinan mematuhi perilaku jarak sosial. Menariknya, keterkaitan ini
tetap berlaku saat kami secara statistik mengendalikan faktor psikologis dan
sosial ekonomi yang relevan, seperti suasana hati yang tertekan dan cemas,
sifat kepribadian, pendidikan, kecerdasan, dan pendapatan," ungkap Weiwei
Zhang, profesor psikologi di Universitas California.
Zhang dan timnya melakukan survei pada 850 warga Amerika
Serikat (AS) sejak 13 Maret hingga 15 Maret. Masa itu merupakan 2 minggu
pertama virus corona ditetapkan sebagai darurat nasional di Negeri Paman Sam.
Baca Juga:
Pekanbaru Darurat Kabut Asap, Siswa Wajib Bermasker
Partisipan awalnya mengisi survei demografi yang mencakup
seperangkat kuesioner untuk menangkap perbedaan individu dalam kepatuhan jarak
sosial, suasana hati yang tertekan, dan perasaan cemas. Survei itu juga menguji
variabel kepribadian, kecerdasan, dan pemahaman peserta soal pengorbanan
sekaligus manfaat mengikuti protokol kesehatan.
"Kapasitas kerja memori yang berbeda-beda dapat
mempengaruhi kepatuhan jarak sosial, seperti halnya beberapa faktor sosial
seperti sifat kepribadian," kata Zhang.
Ini menunjukkan bahwa pembuat kebijakan perlu
mempertimbangkan kemampuan kognitif umum individu saat mengampanyekan protokol
kesehatan, seperti memakai masker atau menjaga jarak fisik. Tim peneliti pun
menyarankan agar menghindari informasi berlebihan saat mempromosikan protokol kesehatan.
Baca Juga:
Khawatir Kasus Covid-19 Meningkat, AS Kembali Wajibkan Warganya Gunakan Masker
"Pesannya harus singkat, ringkas, dan jelas. Buat
proses pengambilan keputusannya mudah bagi orang-orang," tutur Zhang.
Temuan ini juga menunjukkan dibutuhkan upaya proses
pengambilan keputusan pada memori kerja sampai jarak sosial mampu dipahami
sebagai 'new normal'.
"Intinya, kita tidak boleh mengandalkan perilaku
kebiasaan masyarakat karena kepatuhan protokol kesehatan belum cukup terbentuk
di masyarakat AS. Sebelum jadi kebiasaan baru, keputusan untuk mematuhi jarak
sosial dan memakai masker butuh usaha mental. Konsekuensinya, kita harus
berupaya melawan kecenderungan diri kita sendiri yang enggan mengikuti
keputusan penuh usaha itu, seperti tidak mempraktikkan jarak sosial,"
pungkasnya.