WahanaNews.co | Presiden Joko Widodo tengah menaruh perhatian pada fenomena La
Nina yang akan terjadi di sebagian wilayah Indonesia.
Jokowi ingin agar semua pihak
menyiapkan diri dan mengantisipasi terjadinya bencana hindrometeorologi.
Baca Juga:
BMKG Kotim Imbau Masyarakat Waspada Cuaca Ekstrem yang Berpotensi Sebabkan Banjir
Nah,
apa itu La Nina?
La Nina
merupakan fenomena iklim. Umum terjadi pada masa La Nina adalah curah hujan
tinggi dan musim dingin yang melebihi minus 0,5 derajatcelcius.
Kondisi ini
dapat menimbulkan bencana banjir, longsor,
maupun kerusakan pada tanaman atau gagal panen.
Baca Juga:
La Niña di Indonesia Sejak 2024, BMKG: Cuaca Berangsur Normal di Pertengahan 2025
Kepala Bidang
Analis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG),
Indra Gustari, mengatakan, La Nina secara umum dapat dikatakan sebagai fenomena
iklim yang berlawanan dengan El Nino. El Nino merupakan fenomena iklim
pemanasan atau kemarau panjang.
"Jika peristiwa El Nino dikaitkan dengan pemanasan di Pasifik
tropis bagian tengah dan timur. Sedangkan, kejadian La Nina adalah
kebalikannya," ujar Indra kepada wartawan.
Ia
mengatakan, La Nina merupakan anomali sistem global yang cukup sering terjadi
dengan periode ulang berkisar antara dua sampai
tujuh tahun.
Kejadian La Nina ini terjadi saat Samudera Pasifik dan atmosfer di
atasnya berubah dari keadaan netral atau normal pada periode waktu dua bulan
atau lebih.
Perubahan di
Samudra Pasifik dan atmosfer yang ada di atasnya ini terjadi dalam siklus yang
dikenal dengan istilan ENSO atau El Nino-Souther Oscillation.
Dampak La Nina
Berdasarkan sejarahnya, La Nina terjadi di sebagian wilayah
Indonesia, khususnya di bagian tengah dan timur wilayah Indonesia. Di
wilayah-wilayah ini terjadi peningkatan curah hujan yang tidak biasa.
Kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya bencana hidrometeorologis
seperti banjir dan longsor.
Selain itu,
La Nina juga dapat merusak tanaman, termasuk sawah dan tanaman-tanaman semusim
yang terkena dampak hujan berkepanjangan dan banjir.
Karena pada kurun waktu itu, kapasitas sungai dan debit air di sejumlah wilayah berlebihan
sehingga menimbulkan bencana di wilayahnya.
Terakhir kali Indonesia mengalami fenomena La Nina pada tahun
2018. Kala itu terjadi La Nina skala lemah. Meskipun demikian, dampaknya terasa
pada gagal panen. Hal ini membuat harga beras menjadi tinggi.
Mengutip pemberitaan sebelumnya, Kepala Humas BMKG,
Hary Tiro Djatmiko, mengatakan waktu itu, fenomena La Nina terjadi pada bulan
Februari sampai Mei 2018.
"Akan
terjadi La Nina skala lemah. Bersamaan dengan waktunya panen raya, diperkirakan
Indonesia akan mengalami curah hujan yang tinggi. Curah hujan akan turun
memasuki bulan Juni 2018. Jadi, Juni dan
Juli cuaca akan kembali Normal," ujarnya kepada wartawan, saat itu, Rabu
(7/2/2018).
Setelah itu, mulai bulan Juli, curah hujan akan perlahan turun ke tingkat
rendah. Dengan demikian, cocok untuk pertanian.
Sejauh ini,
Hary bilang, BKMG belum mendapatkan adanya potensi perubahan cuaca yang
signifikan sepanjang tahun 2018 lalu.
Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal (Purn) Moeldoko, waktu itu
mengaku telah meminta Menteri Pertanian untuk meningkatkan produksi pertanian,
terutama padi, dan mengantisipasi gagal panen akibat cuaca yang buruk.
"Saya sudah bilang ke Mentan, supaya menghitung potensi gagal
panen akibat cuaca, serangan hama dan penyakit," ujar Moeldoko.
Nah,
pada tahun 2020 ini, BKMG mencatat sebagian besar wilayah Indonesia sekarang
sudah memasuki musim hujan sejak Oktober hingga November 2020.
Wilayah
tersebut meliputi sebagian besar Sumatera, Jawa,
Bali, Kalimantan, Sulawesi Selatan bagian selatan, Sulawesi Tenggara bagian
selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah bagian barat.
Kemudian Gorontalo, sebagian besar wilayah Sulawesi Utara, Maluku
Utara, Pulau Buru bagian utara, Papua Barat bagian utara, dan Papua bagian
tengah.
Adapun puncak musim hujan diprakirakan umumnya akan terjadi pada
Januari dan Februari 2021. [qnt]