WahanaNews.co | Di pagina pertama, dengan huruf yang besar-besar telah bertemu perkabaran KAPAL VAN DER WIJCK TENGGELAM'. Dia terhenyak di tempat duduknya, badannya gemetar, dan perkabaran itu dibacanya terus 'KAPAL VAN DER WIJCK TENGGELAM'...
Baru sekian berita yang dimuat dalam surat-surat kabar yang dapat dibaca Zainuddin. Seluruh badannya gemetar. Dengan suara sangat gugup dipanggilnya Muluk, yang rupanya sedang membaca perkabaran itu pula di koran yang lain. "Hayati beroleh celaka, Bang Muluk!"...
Baca Juga:
Pemerintah Lamongan Tempatkan Sudut Baca Lentera di 13 Lokasi
Demikian kutipan dalam novel legendaris Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939).
Novel yang bercerita tentang kisah romantis dari Minangkabau antara sosok pemuda bernama Zainuddin dengan wanita pujaan hatinya bernama Hayati, yang terbelenggu aturan adat Minangkabau dan berakhir memilukan.
Novel yang diilhami peristiwa nyata tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1936) ini sempat dituding plagiat karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls (1832).
Baca Juga:
Pemprov Jawa Timur Siap Bantu Rekonstruksi Pasca Gempa
Tapi tudingan itu dinilai politis, kenyataannya novel tersebut terus dicetak ulang hingga sekarang.
Di balik fenomenalnya novel Buya Hamka itu, tragedi tenggelamnya Kapal Van der Wijck masih menyisakan misteri.
Arkeolog Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, belum lama ini mengumumkan penemuan yang diduga bangkai Kapal Van der Wijck di perairan Brondongan, Lamongan.
Hamka, dalam novelnya, mengutip tulisan surat kabar Aneta (Algemeen Nieuws-en Telegraaf-Agentschap/kantor berita pertama di Indonesia), mengabarkan detik-detik tenggelamnya kapal uap milik perusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) --cikal bakal Pelni.
"Surabaya, 20 Oktober (Aneta). Pada pukul 1 tadi malam. Marine komandan di sini menerima radio dari Kapal Van der Wijck, meminta pertolongan (S.O.S) sebab telah miring. Seterimanya kabar ini Marine dengan segera menjalankan pertolongan yang perlu. Kapal tersebut telah berangkat dari Surabaya ke Semarang pukul 9 malam. Dia telah tenggelam 15 mil jauhnya dari sebelah utara Tanjung Pakis," tulis kantor berita Aneta.
Dikutip JavaPost, Kapal Van der Wijck diambil dari nama seorang Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, Jonkheer Carel Herman Aart van der Wijck (29 Maret 1840 - 8 Juli 1914).
Kapal tersebut dibangun Maatschappij Fijenoord N.V., pabrik galangan kapal di Feyenoord, Rotterdam, tahun 1921.
Pada bulan itu, kapal berlayar dari Bali melalui Surabaya.
Rute selanjutnya melalui Semarang ke Tanjung Priok Batavia dan selanjutnya berlayar ke Palembang.
Pada 19 Oktober 1936, kapal yang memiliki bobot 2.500 ton itu berlayar dari Surabaya menuju Tanjung Priok dengan membawa 260 orang.
Kapal sedianya bertolak dari Pelabuhan Tanjung Perak pukul 6 petang, tertunda hingga pukul 9 malam karena muatan penuh.
Tepat sebelum pukul 01.00 malam pada hari berikutnya, sinyal marabahaya diterima di Surabaya.
Kapal miring dan tak lama kapal karam tak lagi terdeteksi sinyal.
Berdasarkan rute dan kecepatan biasa Van der Wijck, sebuah lokasi hilang kontak telah ditentukan.
Kapal nahas yang memiliki panjang 97,5 meter, lebar 13,4 meter dan tinggi 8,5 meter, dilaporkan karam sekitar 22 mil di sebelah barat daya dari pelabuhan Surabaya.
Persisnya di perairan Brondong, Kabupaten Lamongan.
Lokasi itu dipertegas lagi berdasarkan pantauan pesawat udara jenis Dornier yang dikerahkan untuk melakukan pencarian kapal nahas dan evakuasi korban.
Pukul 07.45, Dornier melihat banyak orang mengapung di air dan tenggelam.
Pesawat yang mampu mendarat di permukaan air itu berhasil mengevakuasi 60 orang dan dibawa ke Morokrembangan Surabaya.
Sekitar puluhan bahkan hingga ratusan orang berhasil diselamatkan nelayan ke kapal mereka lalu dibawa ke daratan, dan sisanya menyelamatkan jiwanya sendiri dengan berbagai cara.
"Di antara penumpang-penumpang yang belum kedapatan adalah 8 orang bangsa Eropa, 3 anak-anak, seorang markonis (operator radio), dua klerk, dan 59 orang Indonesia masih diusahakan mencarinya," tulis kantor berita Aneta.
Penyebab tenggelamnya kapal yang dinahkodai Kapten Akkerman tidak dapat diketahui secara pasti.
Karena peristiwa karamnya kapal berlangsung sangat cepat, hanya sekitar lima menit air memenuhi dek kapal dan masuk ke dalam air.
Dari beberapa hasil penyelidikan terungkap jika Juru mudi Van der Wijck, Herman Hermse, mengaku telah membuka beberapa lubang intip di tengah kapal dalam perjalanannya dari Bali ke Surabaya untuk memungkinkan kargo (buah) mendapat udara.
Kemudian dia lupa menutupnya lagi.
Di sisi lain, ternyata kapal tersebut juga mengalami kelebihan muatan di Surabaya.
Hermse sempat dijatuhi hukuman disiplin.
Namun akhirnya dibebaskan karena pembukaan lubang intip kapal dianggap tidak menjadi penyebab kapal dengan cepat tenggelam.
Pada bulan April 1937, penyelidikan lain diikuti oleh Dewan Pelayaran, di mana beberapa saksi ahli didengar.
Pembahasan di sini terfokus pada pertanyaan apakah pembukaan satu atau lebih lubang intip cukup untuk menenggelamkan kapal berbobot 2.500 ton begitu cepat.
Terjadi perbedaan pendapat dari para ahli tentang ini.
Tetapi karena kurangnya teori yang lebih baik, maka penyelidikan penyebab tenggelamnya Kapal Van der Wijck menguap begitu saja.
Spekulasi terus bermunculan dan menjadi tanda tanya para ahli dan media.
Bagaimana mungkin kapal dimasuki banyak air di satu sisi, sementara jendela kapal terbuka di kedua sisi kapal.
Dan bagaimana mungkin kapal yang laik berlayar seperti itu tenggelam dalam cuaca yang begitu tenang.
Semua terjadi begitu cepat.
Misteri itu tidak pernah benar-benar terpecahkan, ikut tenggelam selama puluhan tahun di dasar laut, pada kedalaman sekitar 45 meter, 10 kilometer di lepas pantai Brondong.
Aksi heroik para nelayan Brondong yang saling bahu-membahu membantu menyelamatkan korban tenggelamnya Kapal Van der Wijck membuat kagum banyak kalangan.
Beritanya tersiar di koran-koran berbahasa Indonesia maupun Belanda dan Inggris.
Pemerintah Hindia-Belanda yang memutuskan untuk memberikan bantuan perahu bagi nelayan warga setempat.
Pada bulan September 1937, seluruh warga desa diundang untuk pemberian simbolik sembilan perahu baru kepada nelayan, dan sejumlah uang untuk masing-masing nelayan.
Setelah upacara resmi selesai, ada waktu untuk slametan akbar di sebuah gudang.
Selain itu, Hindia-Belanda mendirikan sebuah menara lampu kecil di tempat pelelangan ikan Desa Brondong saat itu --sekarang adalah kantor Perum Perindo di kawasan Pelabuhan Brondong Kabupaten Lamongan.
Menara lampu kecil itu merupakan sebagai hadiah tambahan kepada para nelayan Brondong sebagai penanda, karena Brondong sendiri tidak memiliki mercusuar, para nelayan dari tempat ini selalu harus menuju cahaya Toeban terdekat pada malam hari, dan kemudian berlayar ke dekat pantai ke desa mereka sendiri.
De Indische Courant, koran berbahasa Belanda yang terbit di Indonesia (22 Oktober 1938), menulis, "Sekarang menara akhirnya selesai. Ini telah menjadi bangunan persegi panjang sekitar 8 meter dengan perancah besi untuk lampu (minyak bumi) di atap datar. Sebuah plakat peringatan yang disumbangkan oleh perusahaan Ziesel di Soerabaja, dengan teks yang didedikasikan untuk para penyelamat: 'Tanda peringatan kepada penoeloeng-penoeloeng waktoe tenggelamnya kapal Van der Wijck. DD. 19/20 Oktober 1936', menghiasi sisi kanan gedung."
Menara kecil ini sekarang disebut monumen oleh semua orang.
Meskipun bentuknya lebih mirip mercusuar atau menara pengawas, tapi mengingat sejak beberapa dekade lalu sudah kehilangan fungsi --seiring perluasan pelabuhan, maka sebutan monumen layaknya pantas disematkan.
Apalagi, tepat di sebelah monumen itu ada menara transmisi yang jauh lebih tinggi.
Beberapa bangunan lain juga berdiri lebih tinggi sehingga mengaburkan pemandangan monumen itu.
Namun, nilai-nilai luhur warga Desa Brondong tak tergerus zaman. [dhn]