Oleh MOCHAMAD INDRAWAN
Baca Juga:
Perayaan World Animal Day 2024: Maxim Lakukan Serangkaian Kegiatan Pelestarian Hewan Di Indonesia
KEPUNAHAN dapat terjadi tanpa kesadaran dan kesiapan kita.
Tanpa
perhatian dan strategi yang tepat, dikhawatirkan pada Hari Ulang Tahun Ke-100
Republik Indonesia, badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) akan punah dari
alam bebas.
Baca Juga:
Menengok TPST Bantar Gebang Pasca Eks Gubernur Ahok Putus Kontrak Pengelolaan dengan PT GTJ
Badak
sumatera adalah satu dari lima spesies badak yang masih tersisa di dunia.
Megafauna ini
juga satu-satunya spesies yang masih hidup dari marga purbakala Dicerohinus.
Merupakan
keunikan tersendiri ketika Dicerohinus sebagai suatu marga
(tingkatan kekerabatan di atas spesies) hanya memiliki satu spesies.
Artinya,
kalau badak sumatera sampai punah, tidak akan ada spesies mana pun yang mirip
dengan badak sumatera yang dapat menggantikannya di alam.
Untuk
menyelamatkan badak sumatera, diperlukan pemahaman permasalahannya, rencana
aksi, serta upaya lebih baik, termasuk perubahan drastis strategi konservasi.
Tingkat Keterancaman
Badak
sumatera yang juga dikenal sebagai badak-berambut merupakan salah satu satwa
paling terancam di dunia.
Dulu badak
sumatera tersebar luas dari Asia Selatan hingga di lintang utara Asia Timur
sampai Lembah Sungai Kuning di China Utara, di Lintang Utara 35 derajat (Lander
& Brunson 2018).
Namun,
perburuan berkelanjutan selama lebih dari tiga milenium dan kehilangan habitat
telah memusnahkan hampir semua populasi badak sumatera di dunia.
Saat ini
badak hanya tersisa di beberapa titik di Asia Tenggara.
Di setiap
lokasi jumlahnya sangat rendah serta sangat sulit berkembang biak.
Di
Semenanjung Malaysia, badak sumatera dipercayai telah punah semenjak sekitar
tahun 2008 (dinyatakan resminya pada 2015) dan di Sabah semenjak 2019.
Badan
Keahlian Dunia Serikat Konservasi Alam Internasional (IUCN) telah lama
menggolongkan badak sumatera sebagai "kritis", yaitu menghadapi risiko luar
biasa tinggi untuk punah di alam.
Di Sumatera,
populasi badak sumatera yang tersisa terpencar-pencar di Aceh dan Lampung.
Badak
sumatera yang bertahan hanya ditemukan di Taman Nasional (TN) Gunung Leuser.
Jumlahnya
mungkin tidak sampai 40 ekor, dan tersebar dalam kantong-kantong populasi.
Di TN Way
Kambas diperkirakan paling banyak 15 ekor, di TN Bukit Barisan 2-3 ekor
(sementara ahli percaya sudah punah semenjak 2014), sementara di TN Kerinci
dinyatakan punah sekitar tahun 2015.
Di Kalimantan
Timur tampaknya tidak sampai 15 badak sumatera yang tersisa.
Kepunahan
badak sumatera akan memiliki implikasi hebat.
Kalau itu
sampai terjadi, ini menjadi sejarah pertama kalinya pad abad ke-21 terjadi
kepunahan marga (tidak hanya spesies) anggota kelas mamalia (Payne 2021).
Tidak ada
spesies yang akan menggantikan badak di hutan tropika humida Sumatera ataupun
Kalimantan.
Sumatera
sedang mengalami kehilangan hutan yang hebat.
Pada 1985,
dari 44 juta hektar lahan pulau, 25 juta hektar (57 persen) berhutan.
Pada 2016
hanya 11 juta hektar lahan berhutan yang masih tersisa (Eyesontheforest, 2021).
Sementara
itu, Kalimantan Timur pada 2002-2020 kehilangan 1,17 juta hektar areal hutan
primer (Global Forest Watch, 2021).
Konservasi Badak
Badak diburu
karena culanya.
Masih banyak
kebudayaan di Asia yang percaya bahwa cula badak merupakan obat tradisional
untuk berbagai penyakit, bahkan termasuk kanker.
Namun, secara
medis, "manfaat" cula badak tidak pernah terbukti.
Di luar
perburuan, badak menghadapi permasalahan besar lain, yaitu kesulitan bekembang
biak.
Selama 40
tahun penelitian, ditemukan bahwa sebanyak 70 persen populasi badak sumatera
betina (baik di penangkaran maupun di alam bebas) mengalami kendala reproduksi,
berupa timbulnya tumor dan kista dalam uterus (Schaffer, Agil, Zainudin 2020).
Artinya,
kehamilan alami (tanpa bantuan) dua kali lipat lebih mungkin untuk gagal
dibandingkan dengan berhasil.
Oleh karena
itu, diperlukan bantuan khusus campur tangan manusia, setidaknya sampai
populasinya kembali aman.
Pengalaman
pahit Malaysia kehilangan semua badak sumateranya pada 2019 telah ditulis
secara sangat detail dalam The Hairy Rhinoceros - Lessons for Management of the Last Asian
Megafauna (John Payne, dalam
penerbitan).
Penulisnya,
seorang ahli konservasi hidupan liar Malaysia, mendeskripsikan upaya konservasi
badak sumatera selama 40 tahun.
Ternyata
selama ini pekerja konservasi lapangan sering terjebak dengan dugaan bahwa
badak sumatera masih bertahan di beberapa lokasi.
Asumsinya,
karena hutan terlalu lebat dan badak bersifat pemalu, badak sulit dilihat.
Namun, bukti
lapangan berkata sebaliknya.
Kamera jebak,
misalnya, membuktikan bahwa di beberapa lokasi, badak sumatera memang sudah
tidak ada lagi.
Di Suaka
Margasatwa Tabin, Sabah, upaya 18 bulan pemantauan dengan 100 kamera hingga 2
April 2014 tidak menghasilkan bukti keberadaan badak sama sekali (Payne, op
cit).
Gejala yang
tak kalah penting adalah penurunan populasi yang tidak disadari akibat
keterbatasan data.
Sebagai
contoh, laporan di lapangan masih menunjukkan kelahiran badak baru.
Namun, ketika
kita terlena dengan penemuan satu atau dua anak badak baru, jumlah yang mati
atau diburu tidak terdeteksi.
Belajar dari Pengalaman
Diperlukan
keputusan-keputusan berani untuk menyelamatkan badak sumatera.
Dari
pengalaman getir Malaysia kehilangan badak sumatera dari habitat alaminya di
Semenanjung Malaya dan Sabah, terbukti melindungi di alam saja tidak cukup.
Apalagi
ketika kelangkaan disebabkan keterbatasan kemampuan badak untuk berbiak.
Penyelamatan
sudah harus dilakukan melalui penangkaran-konservasi.
Untuk itu,
pemerintah telah membangun fasilitas fasilitas suaka badak di Lampung dan Aceh
serta Kaltim.
Penangkaran-konservasi
di Lampung dua kali berhasil membuahkan kelahiran alami.
Ini
membuktikan bahwa dalam lingkungan terkontrol, reproduksi badak dapat dibantu.
Teknologi
terbaru pembiakan konservasi, yaitu teknologi reproduksi perbantuan dan untuk pengayaan
materi genetika, Bank Bio kini digenggam Indonesia (Agil 2021).
Untuk
penangkaran-konservasi akan dibutuhkan penangkapan-penangkapan individu badak
di alam.
Badak perlu
dikumpulkan untuk dikembangbiakkan di suaka badak dan dilepas di kemudian hari
setelah jumlah di penangkaran meningkat.
Penangkaran-konservasi
merupakan upaya drastis.
Seperti
halnya di Malaysia, keraguan menempuh risiko mengambil badak dari alam untuk tujuan
penangkaran-konservasi dapat berdampak fatal.
Seperti di
Malaysia juga, tanpa bantuan penangkaran konservasi, badak sumatera akan punah
dari alam.
Terobosan
telah dibangun, melalui RAD-Rencana Aksi Darurat Penyelamatan Populasi Badak
(2018-2021) oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Bagi populasi
dengan jumlah 15 individu atau lebih, dilaksanakan aksi darurat dalam bentuk
perlindungan intensif dan monitoring populasi.
Namun, untuk
populasi yang terisolasi dalam kantong atau fragmen hutan dengan jumlah kurang
dari 15 individu dilakukan penyelamatan individu ke suaka badak sumatera.
Bagaimanapun,
RAD tersebut telah hampir habis masa berlakunya sehingga perlu diperbarui
dengan data terbaru, termasuk menurun drastisnya populasi badak di Way Kambas.
Hal yang akan
lebih kontroversial, tetapi sangat logis adalah keperluan menangkap dan
menangkarkan badak yang terbukti sehat dan memiliki kemampuan berbiak.
Selama ini
badak yang ditangkarkan diambil dari populasi yang ternyata memiliki masalah
reproduksi sehingga di alam pun sulit berbiak.
Peluang dan Tantangan
Perlindungan
tidak harus selalu bergantung pada pemerintah pusat.
Pemerintah
daerah dapat berperan penting untuk memfasilitasi penangkaran-konservasi,
bahkan meningkatkan perlindungan badak dan habitat di beberapa lokasi kritis.
Daerah pula
yang akan membangun ketahanan masyarakat lokal agar perburuan badak diawasi
hingga tingkat desa.
Alangkah
baiknya apabila diberikan insentif konservasi badak di daerah, misalnya
kebijakan penganggaran berbasis kinerja konservasi, termasuk transfer fiskal
ekologi.
Untuk
koordinasi badak diperlukan kelegowoan kedua belah pihak
(daerah dan pusat).
Bagaimanapun,
semua individu yang tersisa perlu dikelola secara terintegrasi.
Provinsi Aceh
benteng sangat penting bagi badak sumatera.
Untungnya,
sejauh ini pemerintah daerah memperlihatkan kepedulian mereka.
Suaka badak
di Aceh Timur terwujud berkat dukungan kuat bupati.
Mungkin, saat
ini kondisi badak sumatera mirip dengan keadaan di Malaysia, 25 tahun sebelum
semua populasi punah di negeri jiran.
Masih ada
harapan buat badak sumatera di Indonesia.
Namun,
waktunya tidak banyak lagi.
Kepemimpinan otorita untuk
menyinergikan semua pengetahuan dan kewenangan serta tanggung jawab menjadi
kunci penyelamatan badak sumatra. (Mochamad Indrawan, Peneliti Institute for
Sustainable Earth and Resources, ISER - FMIPA, Universitas Indonesia)-dhn
Tulisan ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Menyelamatkan Badak Sumatera". Link
untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/15/menyelamatkan-badak-sumatera/.