WahanaNews.co | Pengamat
media sosial mengungkapkan, pembuat hoaks biasanya bisa mengundang jumlah viewer
(penonton) sangat tinggi, sehingga bisa meraup keuntungan fantastis, sampai ratusan
juta.
Baca Juga:
Pemprov Jateng Bentuk Posko Desk Pilkada Pantau Kerawanan dan Jaga Kondusifitas
Hal ini diungkap Analis media sosial sekaligus pendiri Drone
Emprit, Ismail Fahmi. Menurutnya, cara kerja para pembuat hoaks ini ialah
dengan menyediakan platform seperti website atau YouTube.
Kedua platform ini diisi dengan konten palsu dan disebarkan
ke media sosial. Konten tersebut akan menimbulkan keriuhan sehingga banyak
warganet mengakses.
Sehingga, para pembuat hoaks bisa meraup keuntungan dari
iklan yang dipasang di situs (AdSense) dan kanal Youtube mereka. Selain itu,
mereka juga bisa mendapat keuntungan dari penjualan produk dan pesanan politik.
Baca Juga:
Masinton Pasaribu Polisikan Wakil Ketua DPRD Tapteng Soal Tuduhan Kancing Baju Copot
Dalam utas cuitan itu, Ismail juga menyisipkan sebuah video
yang berisi pengakuan dari seorang pembuat hoaks yang diwawancara pada 2017
lalu.
"Kalau mereka yang baru memulai-mulai, itu rata-rata
ya, kisaran penghasilan mereka yang kotornya itu bisa sampai 20 sampai 30
[juta]an saja. Bersih-bersih mungkin mencapai 10 sampai 15 jutaan," kata
si pembuat hoaks yang disamarkan nama dan wajahnya dalam video wawancara di
salah satu tv swasta tersebut.
Selain itu, dalam slide yang disematkan, sang pembuat hoaks
mengaku murid pembuat hoaks bisa mendapat setidaknya Rp15 juta, sementara sang
guru bisa memperoleh lebih dari Rp100 juta. Konten politik diaku menjadi sumber
pendapatan paling besar.
Ismail lantas berkomentar bahwa penghasilan sebesar itu
didapat pada 2017 ketika mereka hanya mengandalkan pendapatan dari iklan di
situs. Namun, kini dengan makin ramainya iklan di Youtube, maka tak heran jika
hoaks ini pun menjamur di platform video besutan Google itu.
Kasus menyebarkan hoaks untuk mencari keuntungan bukan hanya
terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, dalam 10 tahun terakhir Dr. Mercola
dilaporkan menyebarkan hoaks antivaksin dan mendapat keuntungan dari penjualan
pengobatan alternatif, termasuk menyebarkan hoaks terkait antivaksin Covid-19.
Cap ini diberikan oleh peneliti yang sudah meneliti jejaring
dokter ini. Namun, Mercola sendiri menolak tuduhan itu, seperti dilaporkan New
York Times.
Sementara di dalam negeri, Peneliti MAFINDO, Puradian
Wiryadigda per 14 Agustus 2021 mencatat jumlah hoaks pada semester I 2021. Data
tersebut menyebut total hoaks general mencapai 1210, 262 hoaks terkait
Covid-19, dan 105 hoaks terkait vaksin.
Hoaks terkait Covid-19 paling banyak dikaitkan dengan
bencana kesehatan, nutrisi, dan dikaitkan dengan politik. Sebaran hoaks paling
tinggi pada Januari dan jenis hoaks yang paling banyak disebarkan adalah konten
menyesatkan.
Sementara alat penyebaran hoaks paling banyak menggunakan
teks dan media campuran dengan unsur teks, foto, dan video.
Lebih lanjut, Ismail menjelaskan di Indonesia penyebar hoaks
menjadikan berita TV menjadi bahan pembuat hoaks yang nantinya diunggah di
YouTube yang merupakan ladang subur bisnis mereka.
Isu yang sensitif dan kontroversial menjadi menu favorit
para pembuat hoaks karena isu tersebut banyak menarik minat warganet.
"Kanal-kanal seperti itu memfitnah siapa saja. Yang
penting bisa viral. Dan memanfaatkan narasi dari siapa saja. Yang penting bisa
viral," tulis Ismail.
Duh" jangan ditiru, ya. [rin]