WahanaNews.co | Hari itu,
Ahad, 28 Oktober 1928, di balik mimbar di Gedung Oost-Java Bioscoop, Nona
Poernomowoelan menyampaikan buah pikir di hadapan para pemuda yang terlibat dalam Kongres Pemuda II --yang melahirkan Sumpah Pemuda.
"Gadis
yang besar pengabdiannya dalam membina angkatan muda di bidang pendidikan itu
dalam prasarannya menyatakan bahwa usaha mencerdaskan bangsa haruslah disertai
usaha menciptakan suasana tertib dan disiplin dalam pendidikan," demikian
tulis Bambang Sularto dalam buku berjudul Wage Rudolf Supratman.
Baca Juga:
Mabes Polri Gelar Upacara Sumpah Pemuda, Indeks Pembangunan Pemuda Harus Ditingkatkan
Poernomowoelan
jadi pembicara pertama, setelah dua pembicara utama, yakni Ki Hajar Dewantara dan Jokosarwono, berhalangan hadir. Selanjutnya, giliran Sarmini Mangunsarkoro, seorang tokoh
pendidik,
yang bicara.
Laman
Museum Sumpah Pemuda hanya menyebut, itu hari Poernomowoelan dan Sarmidi
Mangoensarkoro sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan.
Selain itu, harus pula ada keseimbangan pendidikan di rumah dan di sekolah.
Anak, juga harus dididik secara demokratis.
Rapat
di gedung itu memang membahas masalah pendidikan. Adapun Kongres Pemuda II
diketahui diselenggarakan di tiga lokasi lantaran pengawasan dari intel dan
polisi Belanda saat itu.
Baca Juga:
Peringati Hari Sumpah Pemuda Ke-96, Danrem 182/JO Bacakan Amanat Menpora
Kesaksian
Wage Rudolf Supratman, siang itu paling tidak ada 10 perempuan yang hadir.
Empat di antaranya sudah ia kenal, Nona Poernomowoelan, Nona Siti Soendari,
Nona Tumbel dan Nona Suwarni.
"Ia
tersenyum ketika melihat para pemudi yang hadir ternyata lebih banyak bila
dibanding dengan yang dilihatnya pada waktu Kongres Pemuda Indonesia Pertama
tahun 1926 yang lalu," tulis Bambang dalam biografi Wage Rudolf Supratman.
Perhatian
terhadap gerakan perempuan sebetulnya sudah ditunjukkan sejak Kongres Pemuda I
pada 1926. Saat itu, Mohammad Tabrani selaku ketua kongres mengemukakan bahwa
kalangan panitia setuju untuk membahas isu perempuan secara khusus.