Hambatan Bahasa dan Lahirnya
Kongres Perempuan
Baca Juga:
Mabes Polri Gelar Upacara Sumpah Pemuda, Indeks Pembangunan Pemuda Harus Ditingkatkan
Sejarawan
Universitas Kristen Satya Wacana, Galuh Ambar Sasi,mengungkapkan, kesulitan berbahasa menjadi salah satu tantangan
tersendiri dalam Kongres Pemuda II pada 1928 silam.
Ambar
menjelaskan, tidak banyak pemuda kala itu yang bisa memahami bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) --yang belakangan masuk dalam salah satu ikrar Sumpah Pemuda.
Maka,
tepat dua bulan setelah berjanji menggunakan bahasa Indonesia, pada 22 Desember
1928, Johanna Masdani Tumbuan mengajak para perempuan
mengadakan pertemuan untuk belajar bahasa Melayu.
Baca Juga:
Peringati Hari Sumpah Pemuda Ke-96, Danrem 182/JO Bacakan Amanat Menpora
Ajakan
itu disambut baik oleh para perempuan lain. Bersamaan dengan itu, para
perempuan tersebut lantas membentuk sebuah Kongres Perempuan. Tujuan awalnya,
untuk mempelajari bahasa Melayu.
Namun
saat itu, perjalanan menuju Batavia tidak mudah dilakukan, setiap orang harus
memiliki izin untuk pergi ke Batavia yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda.
Karena keterbatasan perizinan tersebut, Kongres Perempuan pun diadakan di
Yogyakarta.
"Setelah
Kongres Pemuda II itu baru ada gerakan perempuan, awalnya mereka ingin bisa
bahasa Melayu karena sudah jadi bahasa persatuan, mereka menyewa guru bahasa
Melayu sehingga bisa berbicara bahasa Melayu," terang Ambar pada wartawan.