"Di
kalangan panitia mereka serta-merta setuju untuk meluangkan satu malam khusus
untuk membicarakan kepentingan yang menyentuh saudari-saudari kita. Kesadaran
tentang itu mulai tinggi di kalangan lelaki," tulis Daniel Dhakidae dalam
buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam
Negara Orde Baru.
Kendati
begitu, kala itu pernyataan
tersebut dianggap masih terdengar bernada agak patriarkis.
Baca Juga:
Mabes Polri Gelar Upacara Sumpah Pemuda, Indeks Pembangunan Pemuda Harus Ditingkatkan
Tak
banyak literatur yang menceritakan detail soal perempuan-perempuan di Kongres
Pemuda. Baik yang pertama ataupun kedua.
Soal
Nona Poernomowoelan,
misalnya, beberapa sejarawan menyebut ia mewakili Jong Java. Tapi yang
diketahui pasti, Poernomowoelan adalah salah satu perwakilan pemuda Taman Siswa --kelompok yang kala itu lantang menyuarakan
pendidikan untuk kelompok pribumi.
Maka
tak heran ketika pidatonya juga menyinggung soal tekad memajukan pendidikan
pribumi, terutama semangat untuk membangun peradaban bangsa yang sadar membaca
dan menulis. Ia juga semangat mengajarkan baca tulis kepada anak-anak yang
tidak bisa mendapatkan pendidikan dasar.
Baca Juga:
Peringati Hari Sumpah Pemuda Ke-96, Danrem 182/JO Bacakan Amanat Menpora
Selain
empat orang perempuan yang disebut WR Supratman tadi, Kongres pemuda II juga
dihadiri Emma Poeradiredja, Johanna Masdani Tumbuan, dan Dien Pantaouw.
Tidak
banyak arsip yang menjelaskan asal muasal dan peran masing-masing tokoh perempuan
tersebut. Hanya diketahui, Nona Tumbel merupakan perwakilan Jong Celebes.
Sementara Dien Pantouw adalah Dina Marananta Pantouw perwakilan Jong Celebes,
istri dari Sunario Sastrowardoyo --yang
juga merupakan tokoh Sumpah Pemuda.
Disebutkan,
meski tak banyak berbicara dalam Kongres Pemuda II, perempuan-perempuan
tersebut aktif dalam pergerakan di daerahnya untuk mencapai persatuan bangsa.