WahanaNews.co | Krisis air bersih di dunia bukan hanya menjadi persoalan lingkungan hidup, tetapi juga persoalan sosial budaya yang memberi beban tersendiri bagi peran perempuan dalam keluarga.
Perempuan harus dilibatkan dalam manajemen penyediaan dan pengelolaan air bersih keluarga karena merekalah yang paling terlibat dalam proses tersebut.
Baca Juga:
Momen CFD, Pj Wali Kota Bekasi Kampanyekan Stop Kekerasan Perempuan dan Anak
Problem krisis air bersih tetap tidak dapat dihindari meskipun program penyaluran air bersih semakin berhasil melayani lebih banyak orang.
Meningkatnya populasi manusia yang tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber daya air menyebabkan kelangkaan air.
Di beberapa wilayah, kelangkaan air juga berhubungan dengan iklim, pola penggunaan air dan manajemen penyaluran air yang tidak terkontrol baik.
Baca Juga:
G2C2: Perempuan Muda Hadapi Krisis Iklim
Berdasarkan data UN Water, empat miliar orang atau dua pertiga penduduk dunia hidup dalam kekurangan air minimal dalam sebulan.
Sementara 500 juta orang kekurangan air selama satu tahun.
Di Indonesia, masih ada 9,79 persen rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum layak.
Dampak kekurangan air mempengaruhi hampir setiap sektor hidup manusia.
Mulai dari kesehatan, ekonomi, lingkungan hingga kualitas hidup manusia.
Persoalan itu juga menyisakan beban tersendiri bagi para perempuan yang seringkali tidak diketahui masyarakat.
Selama ini problem air bersih diselesaikan dengan solusi berbasis teknis berupa infrastruktur, sarana dan prasarana penyediaan air bersih.
Upaya ini memang yang utama untuk memperluas cakupan layanan air bersih.
Namun, yang sering luput dari penanganan masalah tersebut adalah keterlibatan masyarakat khususnya perempuan dalam penyediaan dan pengelolaan air bersih.
Hal ini karena perempuan berperan penting dalam pemenuhan dan penggunaan air dalam rumah tangga.
Bagi perempuan, krisis air bersih bahkan merupakan masalah “personal”.
Tanggung jawab perempuan untuk pemenuhan kebutuhan domestik menuntutnya untuk mencari sumber air bersih bagi keluarganya.
Karena itulah perempuan menjadi kunci bagi pemenuhan air bersih di sejumlah wilayah.
Berdasarkan survei UNICEF pada 2015, pemenuhan kebutuhan air di delapan dari sepuluh rumah tangga diserahkan kepada perempuan dewasa dan anak perempuan.
Sementara hanya 19,5 persen rumah tangga yang kebutuhan airnya dikumpulkan oleh laki-laki.
Persentase pemenuhan air bersih oleh perempuan tampak lebih besar di beberapa negara seperti di Afrika, terutama jika dilihat di wilayah pedesaan.
Di sana, pemenuhan air bersih pada lebih dari 70 persen rumah tangga dilakukan oleh perempuan.
Misalnya di Sudan Selatan, 90 persen rumah tangga menggantungkan kebutuhan airnya pada perempuan.
Sementara hanya lima persen rumah tangga yang menempatkan laki-laki sebagai pengumpul air bersih.
Berdasarkan data yang sama, kondisi di Indonesia lebih baik.
Pemenuhan air oleh perempuan hanya terjadi di 14 persen rumah tangga, sementara oleh laki-laki hanya 8 persen.
Ketimpangan Jender
Besaran presentase tersebut ditentukan oleh beberapa faktor.
Pertama, ketersediaan sumber air dan sarana-prasarana penyediaan air bersih.
Bagi wilayah dengan penyediaan air bersih lancar, masyarakat khususnya perempuan tidak perlu lagi pergi mengumpulkan air di luar rumah mereka.
Namun, tanpa adanya sumber air mereka harus menempuh jarak jauh dalam waktu lama hanya untuk mengambil air yang digunakan seluruh anggota keluarganya.
Kedua, kondisi sosial dan ekonomi keluarga.
Para perempuan mau tidak mau bertanggung jawab untuk mengumpulkan air karena para pria biasanya harus pergi bekerja jauh dari rumah.
Tentunya hal ini terjadi jika sumber air tidak berada di lingkungan tempat tinggal.
Kondisi tersebut juga terbangun dari budaya masyarakat yang menempatkan perempuan lekat dengan urusan domestik.
Sehingga segala sesuatu yang berurusan dengan rumah tangga termasuk penyediaan air otomatis menjadi tanggung jawab perempuan.
Jika dilihat dari sudut pandang kesetaraan jender, penugasan perempuan untuk mengumpulkan air juga merupakan buah dari ketimpangan jender dalam keluarga.
Hal ini berkaitan juga dengan budaya patriarki maupun adat istiadat tertentu.
Di sejumlah daerah, perempuan tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga.
Situasi ini menyebabkan pola pembagian kerja rumah tangga yang bergantung pada keputusan laki-laki atau tradisi yang sudah turun temurun.
Laki-laki tidak memiliki kewajiban untuk mengurus domestik.
Sehingga jika laki-laki bertugas mengumpulkan air, perempuan dianggap tidak menghargai laki-laki itu.
Tidak hanya di ranah rumah tangga, dalam kelembagaan dan komunitas masyarakat perempuan belum sepenuhnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan di lingkungan tempat tinggal.
Berkaitan dengan pembangunan dan penyediaan infrastruktur air bersih, nilai-nilai tradisional menghambat keterlibatan perempuan dalam proses tersebut.
Akibatnya perempuan tidak memiliki suara dalam mengatur dan mengelola air di wilayah tempat tinggalnya.
Beban Berat
Kondisi tersebut meyakinkan bahwa krisis air bersih tidak hanya berkaitan dengan problem infrastruktur saja tetapi juga kesetaraan hak perempuan.
Keduanya perlu sama-sama diatasi karena pada akhirnya saling berkaitan.
Infrastruktur penyediaan air bersih memang sudah menjadi prioritas utama pemerintah untuk mencapai target ketersediaan air bersih 100 persen.
Namun, hal yang seringkali luput adalah bagaimana infrastruktur tersebut ramah perempuan.
Fasilitas penampungan air di wilayah terpencil seringkali tidak memperhitungkan kemudahan akses bagi perempuan.
Fasilitas tersebut tidak dialirkan ke setiap rumah sehingga para perempuan pengumpul air tetap akan kesulitan mencapai fasilitas tersebut.
Padahal, dalam proses mengakses air di luar tempat tinggalnya, para perempuan menghadapi beban berat.
Banyak waktu dan tenaga dikeluarkan karena jauhnya jarak sumber air bersih.
Saat ini perempuan di seluruh dunia menghabiskan waktu sekitar 200 juta jam setiap harinya untuk mengumpulkan air.
Lama waktu itu belum termasuk waktu yang habis untuk mencari sumber air.
Di Indonesia, berdasarkan studi kasus di Desa Maradesa Timur, Kabupaten Sumba Tengah, total volume air setiap kali diakses adalah 20 liter per tiap perempuan pengumpul air.
Sementara jarak yang harus ditempuh untuk mencapai sumber air cukup jauh yaitu 473 meter.
Kondisi ini menyebabkan para perempuan hanya mampu mengakses air bersih kurang lebih tiga kali sehari.
Dengan rata-rata perempuan pengumpul air dua orang setiap rumah tangga, setidaknya setiap anggota keluarga hanya mendapatkan jatah 19,5 liter per hari.
Jumlah tersebut jauh dari standar minimal yaitu 60 liter per orang per hari.
Kondisi serupa diungkapkan dalam penelitian Dosen Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, Binahayati Rusyidi, di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Di sana perempuan Sumba menghabiskan waktu enam jam hanya untuk memenuhi kebutuhan air.
Hal ini disebabkan sumber air berjarak empat sampai enam kilometer dari rumah dengan kondisi lingkungan berbukit.
Bukan hanya jarak dan waktu saja yang menjadi beban perempuan pengumpul air, mereka rentan mengalami kekerasan berbasis jender di lokasi pengambilan air.
Kekerasan yang dialami tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis, emosional hingga seksual.
Kemudian jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, para perempuan yang mengumpulkan air mengalami kerugian finansial.
Hal ini terjadi karena waktu yang digunakan untuk bekerja digantikan untuk mengumpulkan air.
Bahkan penelitian di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2018, mengungkapkan langkanya air membuat para perempuan meninggalkan pekerjaan mereka karena harus mencari air.
Hal ini terjadi terutama pada musim kemarau saat sumber air terbatas.
Dengan kondisi ini, pendapatan rumah tangga praktis berkurang.
Libatkan Perempuan
Kendala-kendala yang dihadapi perempuan dalam mengumpulkan air bersih seringkali tidak terekspos.
Karena itu penting untuk mendorong pemerintah dan lembaga swasta yang mengurus penyediaan air bersih untuk mengakomodasi suara perempuan dalam setiap perencanaan penyediaan air bersih.
Hal ini sesuai dengan Prinsip Dublin (1992), yang menegaskan secara khusus bahwa perempuan memegang peranan penting dalam penyediaan, manajemen dan pemeliharaan air.
Dengan pendekatan jender, setiap penyediaan air bersih turut mengikutsertakan keperluan perempuan tidak hanya berdasarkan pemahaman laki-laki.
Tidak hanya membuka diskusi bagi para perempuan, pelibatan perempuan dalam struktur kelembagaan komunitas masyarakat maupun organisasi yang berkaitan dengan penyediaan air bersih juga diperlukan.
Hal ini tidak hanya menguntungkan perempuan saja tetapi juga keluarga dan lingkungan masyarakat.
Melibatkan perempuan dalam pengelolaan air terbukti memberikan layanan air lebih baik, lebih berdampak luas dan berjangka panjang.
Tentunya upaya ini harus selaras dengan peningkatan infrastruktur penyediaan air bersih yang merata. [dhn]
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Perempuan dalam Pusaran Krisis Air”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/23/perempuan-dalam-pusaran-krisis-air/.