Hanya saja, resolusi yang dibuat berdasarkan rasa tidak puas diri, seperti hidup kurang sehat atau kurang sukses, dapat menyebabkan perasaan cemas atau tidak berharga.
Sudut pandang ini yang penting agar tradisi resolusi tahun baru tidak berdampak buruk pada kesehatan mental anak.
Baca Juga:
Di Penghujung Masa Jabatan, Ketua DPRD Provinsi Jambi Raih Gelar Doktor Dengan Predikat Cumlaude
Selama pandemi, 1 dari 5 anak mengalami gangguan mental namun hanya 20 persen dari mereka mendapatkan dukungan yang tepat.
Sean mengatakan, anak-anak tidak membutuhkan budaya yang mendorong mereka menjadi lebih baik dengan mengecilkan pencapaiannya saat ini.
Bukan berarti kita tidak perlu mengembangkan diri namun mengajak orangtua untuk lebih realistis daripada sekedar resolusi yang ditentukan secara membabi buta.
Baca Juga:
Kemenlu RI: Palestina Kian Dekat Jadi Anggota PBB Dapat Hak Istimewa
“Saya dapat melihat area di mana saya dapat melakukannya dengan lebih baik dan saya dapat melihat area di mana saya sudah luar biasa,” katanya.
Tidak banyak resolusi yang dibingkai dalam konteks ini, melainkan melalui lensa dari apa yang kurang. [rna]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.