WAHANANEWS.CO - Proses pencernaan mi instan berbeda dengan mi pada umumnya dan membutuhkan waktu lebih lama di dalam tubuh sebelum benar-benar terurai.
Mi instan menjadi makanan favorit banyak orang karena praktis dan rasanya nikmat, namun konsumsi berlebihan dapat memicu berbagai masalah kesehatan.
Baca Juga:
Residu Etilen Oksida Picu Penarikan Indomie di Taiwan, Begini Respons BPOM
Dokter spesialis penyakit dalam Aru Ariadno menyebut dampak yang paling sering muncul akibat terlalu sering makan mi instan antara lain tekanan darah tinggi, penyakit jantung, obesitas, diabetes, gangguan pencernaan, hingga gangguan fungsi ginjal.
"Masalah yang paling sering muncul seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, obesitas, diabetes, gangguan pencernaan, hingga gangguan fungsi ginjal," ujar Aru Ariadno, dikutip Jumat (12/12/2025).
Efek buruk tersebut dipicu oleh kandungan natrium, lemak jenuh, dan kalori dalam mi instan yang tergolong tinggi.
Baca Juga:
Jangan Asal Makan Mi Instan, Begini Cara Aman Menurut Pakar
Mi instan diketahui membutuhkan waktu lebih lama untuk hancur di lambung dibandingkan jenis mi lainnya.
Secara umum, mi instan dapat bertahan sekitar tiga hingga lima jam di lambung sebelum diproses ke tahap pencernaan berikutnya.
Pada sebagian orang, sisa mi instan bahkan bisa memerlukan waktu satu hingga dua hari hingga benar-benar dikeluarkan dari tubuh.
Menurut Aru, lamanya proses pencernaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya metode penggorengan yang membuat mi instan mengandung lemak tinggi.
Kandungan lemak jenuh yang tinggi tersebut dapat memperlambat pergerakan makanan di lambung.
Selain itu, bahan pengawet yang umum ditemukan dalam mi instan juga membutuhkan waktu lebih lama untuk dicerna.
Bahan pengawet membuat tekstur mi instan lebih keras sehingga tidak mudah terurai di dalam sistem pencernaan.
Sebaliknya, mi segar atau mi yang dibuat tanpa pengawet cenderung lebih mudah hancur dan lebih cepat dicerna oleh tubuh.
Rendahnya kandungan serat pada mi instan juga turut memperlambat kerja usus.
Kondisi tersebut menyebabkan makanan bertahan lebih lama di saluran pencernaan sebelum dikeluarkan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]