WahanaNews.co, Jakarta - Sitor Situmorang, sosok yang bersinar di dunia sastra Indonesia, meninggalkan jejak yang abadi setelah masa keemasan Chairil Anwar.
Lahir pada tanggal 2 Oktober 1924 dengan nama lengkap Raja Usu Sitor Situmorang, ia tidak hanya dikenal sebagai seorang penyair, tetapi juga sebagai seorang wartawan, pengajar, dan intelektual yang mempersembahkan kontribusi luar biasa dalam perkembangan sastra Indonesia.
Baca Juga:
Berapa Jumlah Suku Batak? Ini Penjelasan Beserta Penyebaran Wilayah Penuturnya
Perjalanan Hidup dan Pendidikan
Sitor Situmorang dilahirkan di Tanah Batak Toba dengan nama Raja Usu Situmorang. Pendidikannya dimulai di HIS di Balige dan Sibolga, kemudian dilanjutkan ke MULO di Tarutung, dan AMS di Batavia (kini Jakarta).
Namun, jati dirinya yang sejati sebagai seorang sastrawan mulai terbentuk ketika ia berada di kelas dua SMP dan menemukan karya monumental Max Havelaar karya Multatuli, yang mengilhami minatnya dalam dunia sastra.
Baca Juga:
Memahami Saur Matua dan Sari Matua: Tradisi Penguburan Masyarakat Batak
Perjalanan Ke Luar Negeri
Sitor Situmorang juga mengarungi perjalanan ke luar negeri, menggali pengetahuan dan pengalaman baru. Antara tahun 1950 hingga 1952, ia menjelajahi Amsterdam dan Paris.
Pengalaman ini kemudian diperdalam dengan studi di Universitas California pada tahun 1956-57, khususnya dalam bidang sinematografi.
Kontribusi Sastra dan Wartawan
Sebagai seorang sastrawan, Sitor Situmorang tidak hanya menulis puisi, tetapi juga cerita pendek, esai, naskah drama, dan naskah film.
Ia juga menjadi seorang wartawan, dengan karirnya dimulai dari Harian Suara Nasional di Tarutung hingga menjadi koresponden di beberapa media ternama di Indonesia seperti Harian Waspada dan Berita Indonesia.
Aktivisme dan Tahanan Politik
Sitor Situmorang tidak hanya dikenal sebagai seorang intelektual, tetapi juga sebagai seorang aktivis.
Pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, ia terlibat secara aktif dalam ideologi perjuangan, menjadi pengagum Presiden Soekarno. Namun, di masa Orde Baru, ia ditahan sebagai tahanan politik di Jakarta dari tahun 1967 hingga 1974.
Penghargaan dan Pencapaian
Karya-karya Sitor Situmorang tidak hanya dihargai secara lokal, tetapi juga diakui secara internasional. Kumpulan cerpennya "Pertempuran dan Salju di Paris" meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN pada 1955/1956, sementara kumpulan sajaknya "Peta Perjalanan" mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 1976.
Penghargaan SEA Write Award diberikan padanya pada tahun 2006 sebagai pengakuan atas kontribusinya dalam literatur Asia Tenggara.
Warisan dan Pengaruh
Meskipun Sitor Situmorang telah tiada, warisannya tetap hidup melalui karya-karya sastranya yang timeless. Puisi-puisinya telah menjadi inspirasi bagi banyak seniman dan musisi.
Komponis Ananda Sukarlan, misalnya, menciptakan musik dari beberapa puisinya yang kemudian dinyanyikan dalam berbagai konser dan festival di seluruh dunia.
Sitor Situmorang bukan hanya seorang penyair terkemuka Indonesia pasca Chairil Anwar, tetapi juga seorang intelektual yang memberikan kontribusi besar dalam pembentukan identitas sastra Indonesia.
Meskipun telah berpulang, namanya tetap akan dikenang dalam sejarah sastra Indonesia sebagai salah satu yang paling berpengaruh dalam generasinya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]