WahanaNews.co | Guru itu digugu dan ditiru. Ungkapan itu senyatanya telah menggambarkan prof Teruna. Ia seorang profesor terhormat, kimiawan, serta pengajar di bidang kimia farmasi yang sudah menghabiskan waktu setengah dari usianya untuk mengajar serta mendidik murid-murid dari dari jenjang S1 hingga S3.
Prof Teruna merupakan profesor terhormat serta pimpinan asosiasi Departemen Kimia Farmasi di University of Kansas.
Baca Juga:
Arnod Sihite Dilantik Ketua Umum PTSBS Periode 2024-2029: Ini Daftar Lengkap Pengurusnya
Fokus penelitian Teruna adalah pengembangan metode pengiriman zat obat (protein) ke otak agar dapat menyembuhkan penyakit-penyakit otak.
Sudah 40 tahun dirinya tinggal di negeri Paman Sam. Belajar, bekerja, dan meneliti sudah menjadi kesehariannya sepanjang kehidupannya di sana.
Semua berawal dari momen yang terjadi pada September 1981 di laboratorium kimia Universitas Indonesia (UI) Kampus Salemba.
Baca Juga:
Arnod Sihite Resmi Pimpin Parsadaan Toga Sihite Boru Sedunia, Fokus Lestarikan Budaya Batak pada Generasi Muda
Teruna yang tengah menekuni pendidikan S2 nya di jurusan Kimia Organik diwawancarai oleh dosen tamu dari University of Arizona yang bernama prof George Wilson.
“Jadi waktu itu ketua jurusan bilang ke saya kalau kita kedatangan tamu dari Arizona dan dia juga mau interview mahasiswa. Saya yang saat itu jadi teknisi laboratorium juga diinterview. Jadi saya menerangkan semua alat-alat. Setelah itu saya juga ditanya-tanya tentang kimia,” jelas Teruna, belum lama ini.
Puas dengan hasil wawancara, prof Wilson langsung menawarkan Teruna untuk belajar dan mengambil gelar Ph.d di Amerika. Sontak, reaksi kaget serta gembira keluar dari Teruna kala itu. Namun, kondisinya yang terbilang 'pas-pasan' secara ekonomi saat itu menurunkan harapannya.
“Terus saya bilang ‘I don’t have money’. Orang tua saya di Medan. Saya juga di sini (Jakarta) pas-pasan. Terus dia bilang ‘kamu di sana bisa jadi teaching assistant’. Jadi kuliah sambil mengajar di sana. Terus saya bilang ‘wah berarti saya bisa hidup di sana’,” terang pria asal medan tersebut.
Dengan melihat peluang itu, Teruna mengirimkan surat pendaftaran ke University of Arizona. Berselang 5 bulan, dirinya mendapat surat balasan yang menyatakan bahwa dirinya diterima di fakultas kimia.
Dengan mengantongi izin orang tua serta surat pernyataan dirinya diterima, Agustus 1982 Teruna terbang ke Arizona.
Teruna mengenang kembali masa-masanya setelah lulus SMA. Ia mengaku, saat itu masih bimbang untuk melanjutkan pendidikan di bidang apa. Terinspirasi dari ibunya yang seorang bidan, Teruna memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran.
“Jadi bapak saya tamatan STM dan ibu saya bidan. Ibu saya cukup terkenal dulu di Medan, karena dia sudah banyak sekali menolong kelahiran di sana selama hidupnya. Suatu saat ibu saya nanya ‘kamu mau bidang apa?’ Abang saya sudah di bidang elektronika dan saya anak paling kecil. Terus saya jawab ‘oh mungkin saya ikut ibu lah, di bidang Kesehatan.' Mau jadi dokter,” ujar pria kelahiran Desember 1957 itu.
Mengikuti jejak kakaknya yang sudah lebih dulu kuliah di UI, dirinya datang ke Jakarta untuk mengikuti ujian Skalu (sekarang SBMPTN).
Dirinya juga mengaku bahwa nilainya di pelajaran kimia saat SMA ‘jeblok’. Di biologi juga ia merasa kurang. Hal tersebut membuat dirinya berpikir keras saat hendak mengikuti ujian Skalu.
“Jadi waktu saya SMA, kimia saya jeblok. Hanya lulus pas-pasan lah. Saya saat itu mikir I'm not interested. Tapi juga di benak saya, saya pengen ke kedokteran karena ibu saya bidan kan. Jadi saya datang ke Jakarta. Lalu abang saya tanya ‘apa yang perlu kamu siapin untuk ujian?’ Terus saya mikir fisika saya bisa, nilainya bagus. Inggris juga bagus. Biologi kurang, saya engga jago menghafal. Terus kimia ini yang saya takut. Lalu abang saya bilang ‘oh saya punya kawan yang jago kimia. Akan ku kenalkan kau sama dia’ dia bilang,” kata Teruna.
Ia dikenalkan oleh sahabat kakaknya yang saat itu mahasiswa jurusan Kimia. Di sinilah momen yang mengubah hidup Teruna. Selama kurang lebih 2 bulan, dirinya belajar kimia secara intens dengan seniornya tersebut. Ia berkata bahwa seniornya itu cukup galak.
“Orangnya keras. Dia orang Batak juga sama kaya saya. Dia selalu kasih quiz ke saya. Saat pertama saya enggak tau apa-apa. Lalu dia bilang ‘bodoh kali kau’,” kenang Teruna sambil tertawa.
“Terus dia ambil buku-buku lalu dijatuhkan di depan saya,"
"BAMM!" Teruna meniru suara buku-buku yang dijatuhkan.
"‘Kau baca buku ini. Minggu depan datang lagi kemari’ gitu dia bilang. Lalu saya baca-baca lah. Minggu depan saya datang lagi dan di-quiz lagi. Begitulah terus saya belajar sama dia. Tapi makin lama dia memang bener-bener pengen dorong saya untuk bisa. Setelah itu mulailah saya mengerti kimia,” ungkapnya.
Setelah dirinya mengikuti ujian Skalu, nama Teruna tidak ‘keluar’ di Fakultas Kedokteran UI. Namun ia diterima di fakultas Fisika dan Kimia. Lalu dari situ, ia memutuskan untuk mengambil Kimia. Karena menganggap itu merupakan ilmu yang dekat dengan bidang kesehatan seperti ibunya yang seorang bidan.
Dirinya juga menceritakan tantangan yang ia terima saat pertama kali belajar di program Ph.d di Arizona. Apalagi, ia juga sambil mengajar 3 kali seminggu untuk para murid-murid program S1.
Hal yang paling berat untuknya ialah penyesuaian bahasa. Dirinya mengakui bahwa sejak SMA ia baik dalam Bahasa Inggris, namun dengan tuntutan untuk belajar dan mengajar menggunakan full English, dirinya cukup kesulitan di situ.
“Kalau sudah di depan kelas mengajar kan harus full English. Engga ada yang bantu atau segala macem. Harus Bahasa Inggris 100%, engga bisa translate,” jelasnya.
“Ada cerita lucu. Waktu saya nulis di papan tulis, saya mau nulis and, tapi saya malah tulis ‘dan’ Bahasa Indonesia. Langsung murid-murid pada nanya, ‘what is dan?' 'who is dan?’ karena di US 'dan' itu kan nama ya. Terus kita jadi ketawa semua,” kenangnya.
Itu bukan pengalaman pertamanya dalam mengajar. Semenjak masa kuliahnya di UI, Teruna juga mengemban sampingan menjadi pengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Ia mengajar di kawasan Prambors yang kala itu cukup terkenal.
“Setelah tahun kedua di UI saya jadi banyak kenal dengan orang. Ada satu teman saya orang pintar fisika, dia senior saya. Dia yang ngajak saya untuk ngajar di bimbingan itu. Jadi saya cukup terkenal di bimbingan itu. Orang Prambors juga jadi kenal. Prambors kan terkenal zaman dulu kan. Jadi waktu itu kita masih muda jadi merasa keren,” ungkapnya sambil tertawa.
Selesai program Ph.d pada Mei 1986, Teruna menikahi pujaan hatinya. Perempuan asal Kansas City, Missouri yang saat itu juga lulus dari program S2 di universitas yang sama.
Teruna menerangkan, ketika sudah menyelesaikan Ph.d, seseorang yang ingin menjadi profesor harus melanjutkan ke jenjang yang disebut post-doctoral atau pasca-doktoral. Namun jika ingin melanjutkan karier untuk bekerja di industri, bisa dengan membawa gelar Ph.d tersebut.
Teruna sempat bimbang saat itu dalam memilih langkah di depannya.
“Waktu itu saya engga tau mau kerja di perusahaan, ambil post-doctoral atau mau pulang Indonesia bersama istri gitu. Karena dari awal mimpi saya ingin mengajar, jadi saya ambil post-doctoral di University of California. Untuk mendapatkan pengalaman banyak juga lah."
"Jadi setelah kami lulus itu, kami menikah, siapin bawaan, dan langsung pergi untuk lanjut post-doctoral,” jelasnya.
Di awal jenjang pasca-doktoral yang ia lakukan, Teruna dan keluarga kecilnya sempat menghadapi situasi ekonomi yang sulit. Ia mengungkapkan saat itu di akhir 1980an, ekonomi di AS sedang menurun.
Biaya hidup di Santa Barbara saat itu juga disebut Teruna cukup mahal. Ditambah, sulit bagi orang asing untuk menjadi profesor kala itu. Hal ini membuat Teruna memutuskan untuk pindah dan melanjutkan pasca-doktoralnya di tempat lain.
“Zaman itu 80an akhir ekonomi AS sangat down. Lalu anak saya pertama juga lahir di Santa Barbara. Waktu itu Gaji saya di post-doctoral itu sangat minim. Istri saya juga harus kerja waktu itu."
"Biaya sewa apartemen juga sangat mahal di sana. Tapi karena punya anak, kita engga bisa nunggu terlalu lama di sini. Tabungan kami juga hampir habis. Jadi ya pilihannya dua, kita dapat kerjaan baru atau saya pindah ke post-doctoral lain yang gajinya lebih besar,” terang Teruna mengenang masa sulitnya.
Teruna selama beberapa kali pindah dari satu tempat ke tempat lainnya semenjak itu. Ia sempat diterima dan bekerja di Burnham Institute di San Diego selama dua tahun, lalu perusahaan farmasi Sterling Winthrop selama dua tahun lebih.
Di akhir masa kerjanya di Sterling Winthrop, Teruna mengungkapkan bahwa ada masalah internal perusahaan yang membuatnya tidak nyaman bekerja sebagai peneliti di sana.
“Saya di sana jadi research scientist juga. Terus ada masalah internal politik lah di sana, yang bikin saya not so happy di divisi scientific nya. Walaupun saat itu saya dapat projek yang sangat bagus, tapi rasanya engga enak gitu. Engga nyaman bekerja,” ungkapnya.
“Terus istri saya bilang ‘kamu kan selalu ingin mengajar. Kenapa kamu engga post-doc sambil ngajar aja?’ Dari situ saya langsung cari tempat kerja baru agar bisa sambil mengajar,” imbuhnya.
Pada 1980 akhir, istri Teruna sedang membaca sebuah majalah kimia yang mereka terima setiap dua bulan sekali. Lalu ia menemukan sebuah lowongan di Kansas University yang membutuhkan asisten profesor di bidang kimia farmasi. Tentu itu bidang yang sangat sesuai bagi Teruna.
Dari situ ia langsung mengirimkan lamarannya ke sana dan langsung diterima.
Teruna bersama rekan penelitiannya di laboratorium University of Kansas (1989). Foto: Dok. Teruna Siahaan
Teruna menjelaskan jenjang untuk mendapatkan gelar profesor dalam sistem pendidikan di sana. Butuh sekitar 10 tahun untuk jadi profesor dari posisi asisten profesor.
“Jadi jenjangnya begini. Pertama asisten profesor. Setelah 5 tahun jadi asisten kita dievaluasi. Biasanya dipromosikan ke associate professor dengan mendapatkan tenure (sebuah kedudukan yang membuat seorang profesor memiliki kebebasan dalam melakukan penelitian apa pun) atau dipecat tanpa mendapatkan tenure. Jadi itu gambling di situ. Harus betul-betul kualifikasinya bagus,” urai Teruna.
Teruna mendapat promosi menjadi associate professor kala itu. Lalu setelah 5 tahun, dirinya diangkat menjadi profesor penuh pada 2001.
Selain itu, pada 2016 dirinya juga diberi gelar distinguished professor, atau profesor terhormat di Kansas University. Hanya ada 80 orang yang mendapatkan gelar tersebut di sana.
Tak hanya itu, Teruna juga diberi gelar Aya and Takeru Higuchi Distinguished professor di sana. Sebuah gelar terhormat yang diambil dari nama seorang ahli kimia Amerika berdarah Jepang yang terkenal, Takeru Higuchi, yang juga membangun departemen Farmasi Kimia di University of Kansas. Hanya ada dua orang yang diberi gelar itu di sana, termasuk Teruna.
Teruna saat ini sedang fokus pada sebuah projek yang bisa dibilang cukup besar dan juga berkesan bagi kehidupan kariernya sebagai ilmuwan. Sebuah projek yang menjadi fokus dirinya sejak 1991 dan baru-baru ini berkemungkinan untuk berhasil.
Projek ini menemukan cara bagaimana membuat pembuluh darah otak bisa sedikit membesar, sehingga zat obat seperti protein memungkinkan untuk masuk ke otak dan dapat menyembuhkan penyakit-penyakit otak.
“Jadi penyakit otak itu sukar diobati. Kenapa? Karena otak kita itu sangat terproteksi. Jadi ada pembuluh darah yang mengalir ke otak. Karena otak kita butuh nutrien, butuh makanan, seperti glukosa, asam amino, vitamin, dan lain-lain.
Nah itu dikirim melalui darah oleh pembuluh darah otak itu tadi. Tapi pembuluh darah otak itu beda dengan pembuluh darah di bagian tubuh lain. Dia sangat ketat. Hanya nutrien yang bisa masuk. Tapi negatifnya adalah kalau anda punya penyakit otak seperti alzheimer atau tumor, itu obat tidak bisa masuk otak,” kata Teruna.
“Kita sudah coba melakukannya di binatang yaitu tikus yang punya tumor otak dan tumornya hilang. Kalau nanti bisa berhasil ke manusia, akan sangat banyak manfaatnya,” ujar ayah dari dua anak tersebut.
Pesan Bagi Murid dan Guru
Sebagai seorang yang sudah lama berperan di dunia pendidikan, Teruna punya pandangan sendiri dalam melihat kualitas murid di sana. Ia mengakui bahwa murid di AS itu sangat berorientasi pada tujuan mereka.
“Murid di sini itu lebih independen. Lalu salah satu yang saya lihat di sini mereka itu juga goal-oriented. Tidak semua tapi mayoritas. Mereka seperti sudah tau mau ke mana. Banyak yang sudah tau mau ke mana. Dan salah satu yang saya amati, murid di sini itu pintar berkomunikasi secara lisan dan tulis."
"Jadi memang sistem undergraduate di sini itu tahun pertama semua murid harus mengikuti general requirement, seperti pelajaran umum yang cukup mendalam. Biarpun contoh dia ambil science, tapi dia juga harus ambil history, politik, literatur, musik, dan lain-lain. Jadi lebih terbuka pikirannya,” jelasnya.
Teruna juga memberikan tips bagi para pelajar Indonesia yang mau melanjutkan pendidikan di AS. Ia menekankan harus memiliki komitmen dan motivasi tinggi.
“Yang pertama itu tentu English. Banyak baca buku. Jangan hanya baca soal jurusan kamu saja, tapi baca yang lain yang Bahasa Inggris, like novel atau apa pun. Ini juga agar bisa berkomunikasi secara general. Kedua komitmen. Fokus. Kalau ingin sesuatu ya harus betul-betul fokus."
"Lalu juga harus punya motivasi tinggi. Kalau mental tempe ya tidak bakal sukses. Salah satu kunci kesuksesan orang atau murid di sini itu adalah karena mereka fokus dan do the extra work. Jadi dapet satu tugas dia tidak hanya selesai itu lalu sudah. Tapi dia terus ngembangin sampai maju. Itu kelihatan mana murid yang kaya gitu dan mana yang hanya malas kerjain. Yang kaya gitu I don’t think it's gonna work here,” ungkapnya.
Tak hanya untuk para murid, Teruna juga memiliki pesan khusus bagi para tenaga pengajar seperti guru dan dosen. Ia berkata bahwa menjadi guru itu dilarang prejudice.
“Kalau kita bekerja sebagai dosen atau guru, kita sebenarnya bukan berhadapan dengan orang bodoh. Kita punya 100 murid di kelas misalnya. Most likely 5% nya itu adalah orang-orang yang jenius. 25% cukup pintar, and then 65% itu di rata-rata. 5% lainnya di bawah. Bukan bodoh, mungkin sebenarnya pintar, tapi mungkin mereka tidak berkomitmen atau punya masalah dengan hidupnya dan lain-lain. Atau bahkan mungkin mereka memilih minat yang salah. Jadi tidak ada yang bodoh.”
Jadi kalau guru di awal mikir murid-murid tidak lebih pintar dari dirinya, well you are wrong. Some of your students mungkin aja lebih pinter dari anda. Jadi jangan prejudice. Banyak orang yang mungkin tidak lancar dalam berkomunikasi, tapi otaknya sebenarnya pintar.
“Dan kita guru itu sebagai panutan kan. Jadi behaviour kita juga harus dijaga. Kalo kita sering marah-marah ya murid kita nanti yang nantinya jadi guru ya marah-marah juga. So you have to be an example. Waktu saya masih muda, salah satu mentor saya selalu bilang ‘hati-hati apa yang kamu ucapkan. Karena setiap ucapan mu itu akan jadi contoh buat murid-murid kamu’.
Mungkin kita sebagai guru tidak merasakan itu, tapi bagi murid itu bisa diingat terus. Jadi kalau jadi guru itu jaga behaviour dan ucapan juga,” terang dia.
Terlepas dari profesinya sebagai kimiawan dan guru, Teruna hobi menulis, melukis serta berkebun. Hal tersebut biasanya dilakukan bersama istrinya.
Tak hanya bunga dan tanaman hias, Teruna dan istrinya juga memiliki kebun sayur dan buah-buahan. Dirinya bercerita bahwa setiap musim panen, rumahnya akan penuh dengan sayuran seperti tomat, cabai, dan lain-lain.
“Selain berkebun, saya juga hobi melukis. Istri saya juga suka melukis. Lukisan-lukisannya saya pasang di kantor saya. Dan juga kalau ada murid yang selesai sekolah di sini saya suka kasih 1 lukisan saya sebagai kenang-kenangan,” terang Teruna terkait hobinya dalam melukis.
Ia menjelaskan peran penting dari sebuah hobi. Dirinya mengatakan bahwa hobi merupakan penyeimbang antara karier dengan aspek kehidupan lainnya.
“Jadi itu membuat otak dan hati tenang lah. You need to be alive kan. Aku juga bilang ke murid-murid fokus kerja dan belajar, but you should also enjoy life. Apalagi kita kan sering menggunakan otak ya,"
Kalau hati kita engga tenang, tentu otak kita engga bisa berpikir kreatif. Life is not just a chemistry. Life is a lot of things. Jadi kita harus mengimbangkan semuanya.
Ketika ditanya kesediaannya untuk pulang dan menetap di tanah air, Teruna mengaku sulit. Namun, dirinya selalu senang untuk berkontribusi membangun pendidikan di Indonesia. Hal itu juga sudah dilakukan Teruna selama ini. Mengisi kelas, seminar, workshop, dan lain-lain.
“Kalau untuk pulang agak sukar buat saya. Karena saya sudah established di sini. Tapi kalau untuk pulang membantu pendidikan di sana, saya mau. Dan saat ini saya juga sering lakukan itu."
"Dengan lecturing di UI, dan lain-lain. Atau bisa juga jadi dosen terbang mungkin di Indonesia. Atau institusi penelitian butuh saya sebagai advisor atau apa pun itu, I will contribute. Tetapi untuk pulang secara fisik, agak sukar. Karena sudah mapan di sini,” tegasnya.
Teruna juga mengungkapkan bahwa saat ini memang waktunya bagi generasi muda untuk ikut ambil andil secara nyata dalam pembangunan negara.
Untuk usianya sekarang yang 64 tahun, ia menyebut dirinya sudah tidak pas untuk mengisi posisi-posisi tertentu.
“Kalau nanti saya ditawari menjadi kepala ini, rektor itu, menteri ini, I'm not gonna be successful. Karena generasi mudalah sekarang waktunya. Sudah banyak sekali orang-orang muda yang pintar dan tahu banyak soal itu. Untuk seusia saya, saya hanya jadi penasihat atau advisor saja,” tutupnya. [qnt]