WahanaNews.co | Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan, krisis pangan yang tengah mengancam secara global, tak lepas dari isu sisa makanan yang dibuang (food loss and waste).
Apalagi, lanjut dia, dunia di tahun 2050 harus memikirkan cara untuk menyediakan pangan bagi sekitar 9 miliar penduduk. Sehingga, dibutuhkan upaya untuk sistem pangan berkelanjutan.
Baca Juga:
Polres Taput Dukung Asta Cita Presiden Salah Satunya Meningkatkan Ketahanan Pangan
"Hasil kajian FAO menunjukkan bahwa sepertiga bahan pangan yang diproduksi dunia terbuang dan menjadi sampah yang tidak dapat didaur ulang. Bappenas mengestimasi jumlah food loss and waste di Indonesia selama periode 2000-2019 berkisar 115 hingga 184 kg/kapita/tahun," kata Syahrul saat membuka workshop virtual Gap Analysis on Food Loss and Waste Indices, Selasa (21/6/2022).
Mengurangi makanan tersisa yang terbuang jadi sampah atau food loss and waste, lanjut dia, adalah salah satu pilar ketahanan pangan.
"Contoh, mengurangi 25% kehilangan produksi padi di Indonesia, akan meningkatkan ketersediaan pangan beras hingga 4 kg/kapita," kata Syahrul.
Baca Juga:
Dukung Ketahanan Pangan, Polres Subulussalam Tanam Jagung Serentak
Karena itu, lanjut dia, dibutuhkan upaya dan solusi agar metode yang tengah disiapkan FAO dan UNEP untuk mengukur indeks sisa makanan bisa diaplikasikan, dengan gap analisis yang diperkecil.
Apalagi, dia menambahkan, masih banyak negara yang menghadapi kendala terkait data yang dibutuhkan untuk pengukuran indeks food loss and food waste (sisa makanan).
"Komitmen dan dukungan negara anggota G-20 untuk mengurangi food loss and waste sangat penting dalam upaya mencapai tujuan Sustainable Development Goals," katanya.
"Lebarnya kesenjangan metodologi dan data terkait food loss and waste di antara negara-negara G20 mengakibatkan kesulitan mengukur kemampuan setiap negara untuk mendukung ketersediaan pangan global," dia menambahkan.
Hal senada disampaikan Chief Economist FAO MAximo Torero Cullen. Dimana, data sisa makanan akan memberikan informasi yang memadai bagi regulator mengenai arus sisa makanan itu sendiri di dalam rantai pasok.
"Saat ini masih ada kesenjangan data. Dimana hanya 7% data yang dilaporkan resmi ke FAO. Sedangkan 93% data lainnya adalah hasil perhitungan dan estimasi," kata Torero.
Terutama, data mengenai sisa makanan yang hingga saat ini tidak ada kejelasan informasi yang dibutuhkan. Padahal, itu bisa menjadi acuan untuk menghasilkan rekomendasi aksi yang akan menjadi solusi yang bisa ditetapkan level regulator. [qnt]