PERTENGAHAN November 2021 ini, Adidas memperkenalkan koleksi sepatu baru hasil kerja sama dengan enam seniman kreatif di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Wayang kulit muncul di desain salah satu sepatu.
Baca Juga:
Anak-Anak Sekolah di London Tampil Memukau Mainkan Gamelan dan Wayang
Desainernya adalah orang Malaysia.
Sepatu itu dirilis ke publik melalui media sosial.
Pada akun Instagram Adidas Singapura, pihak jenama menyebut wayang kulit sebagai budaya dari Malaysia.
Baca Juga:
7 Kerajinan Solo yang Wajib jadi Buah Tangan
Padahal, wayang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2003.
Warganet tidak tinggal diam.
Unggahan Adidas Singapura dibalas ribuan komentar yang menyebut bahwa wayang merupakan budaya Indonesia.
Jenama tersebut pun meminta maaf, kemudian merevisi pernyataan bahwa wayang kulit berasal dari Indonesia.
Menariknya, polemik itu berlangsung tak lama setelah Hari Wayang Nasional yang diperingati setiap 7 November.
Jika Hari Wayang Nasional belum cukup untuk menumbuhkan kepedulian publik terhadap wayang, huru-hara di media sosial malah efektif untuk membuat publik peduli.
Budayawan Sudarko Prawiroyudo mengaku tertawa-tawa saat tahu polemik ini.
Katanya, isu tersebut justru memantik diskusi publik terhadap wayang.
Semakin riuh isunya, semakin besar juga ruang diskusinya.
Ibarat guyonan anak muda sekarang, “Kami suka keributan!”
“Bayangkan, ada berapa orang yang ribut dan protes (karena wayang diklaim budaya negara lain)? Itu belum pernah terjadi selama saya menekuni wayang sejak 1972. Dengan kejadian ini, semua orang terhentak dan sadar bahwa kita memiliki wayang,” ucap Sudarko, saat dihubungi, Jumat (26/11/2021).
Adapun dalang Nanang Hape menilai ada sisi positif dari polemik itu.
Selain menimbulkan diskusi, kejadian tersebut menunjukkan rasa kepemilikan (sense of belonging) publik terhadap wayang.
Rasa tersebut mendorong masyarakat untuk mempertahankan wayang.
Sikap tersebut mencerminkan pepatah Jawa.
Bunyinya: Rumangsa handarbeni, wajib melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani.
Artinya, lebih kurang: merasa ikut memiliki, wajib ikut membela, serta berani introspeksi diri.
Menurut dia, publik sudah mencerminkan “rumangsa handarbeni” dan “wajib melu hangrungkebi”.
Namun, “mulat sarira hangrasa wani” --yang berarti melihat ke dalam diri dan membaca diri-- belum terlaksana.
“Ini otokritik. Apa wayang masih didudukkan dalam sistem kemasyarakatan? Apa nilai wayang yang bersifat universal dan sudah bergulir selama berabad-abad masih menjadi rujukan masyarakat? Jika benar wayang milik kita, bagaimana kita menjaga keberlangsungan wayang?” kata Nanang.
Mengenal Wayang Kembali
Di sisi lain, preservasi wayang terkendala perkembangan zaman modern.
Wayang kini bukan lagi satu-satunya hiburan masyarakat.
Perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi menyediakan media-media hiburan baru.
Wayang perlahan ditinggalkan.
Generasi muda masa kini juga terkendala bahasa untuk memahami wayang.
Nanang mengatakan, pertunjukan wayang menggunakan bahasa pewayangan yang berbeda dengan bahasa Jawa sehari-hari.
Itu sebabnya hanya sebagian orang dapat memahami dan menikmati pertunjukan wayang.
Kendati demikian, wayang diyakini dapat beradaptasi dengan perubahan zaman.
Kemampuan adaptasi tersebut yang membuat wayang dapat bertahan selama berabad-abad di Indonesia.
Nanang menuturkan, pertunjukan wayang masih menggunakan bahasa Jawa Kuna pada masa kerajaan Kediri.
Bahasa tersebut berubah menjadi bahasa Jawa baru sekitar masa kerajaan Demak, setelah Majapahit runtuh.
Perubahan bahasa tersebut masih dapat terjadi di masa kini.
Ia meyakini jika penggunaan bahasa Indonesia meluas, bukan tidak mungkin pertunjukan wayang disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, peluang untuk mengembangkan wayang dan membuatnya relevan dengan zaman dinilai masih terbuka.
Saat ini wayang telah dikembangkan menjadi berbagai karya seni, seperti lukisan, musik, tarian, dan sastra.
Adapun Nanang memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan narasi wayang melalui siniar (podcast).
Upaya mengenalkan kembali wayang ke publik, khususnya generasi muda, dinilai semakin penting agar wayang tidak punah tergerus zaman.
Menurut Nanang, semua orang bebas mengenal wayang dengan cara dan kemampuan masing-masing.
“Tidak semua orang harus paham betul soal wayang. Yang penting mau tahu dan mengenal apa itu wayang. Mereka bebas menentukan cara mengenalnya, bisa dengan novel, tarian, atau melihat pertunjukan,” ucap Nanang.
Pementas wayang orang Destiyan Wahyu Setiadji menilai bahwa wayang tidak hanya perlu dikenalkan ke milenial, tapi juga generasi Z.
Pengenalan ke generasi Z mesti menggunakan metode khusus karena generasi muda punya karakter tersendiri.
”Kita perlu mencari pendekatan yang tepat agar wayang ini bisa masuk ke generasi berikutnya. Untuk sampai ke situ, perlu melihat karakteristik dari generasi Z yang dikatakan sebagai anak kandung dari teknologi,” katanya pada diskusi wayang, Minggu (7/11/2021).
Sudarko menambahkan, pertunjukan wayang mesti beradaptasi dengan karakter masyarakat masa kini.
Jika tetap mempertahankan bentuk lama, wayang akan semakin ditinggalkan.
Misalnya, mempersingkat durasi pertunjukan yang biasanya diadakan semalam suntuk menjadi beberapa jam saja.
“Agar wayang tetap hidup, perlu ada dialog (antara pegiat wayang dengan masyarakat) yang sesuai dengan konteks masa kini. Tidak mungkin pertunjukan wayang pada tahun 1986 sama dengan 2021. Harus sesuai zaman. Jika tidak, maka tidak akan ditonton orang,” ucap Sudarko yang juga anggota Dewan Kehormatan Sena Wangi atau Sekretariat Nasional Wayang Indonesia. (Sekar Gandhawangi)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Teruskan, Kami Suka Keributan!”. Klik untuk baca: Teruskan, Kami Suka Keributan! - Kompas.id.