WahanaNews.co | Las ma rohakku martonun, las ma rohakku marbudaya.
Bahagia hatiku menenun, bahagia hatiku berbudaya.
Baca Juga:
Gema Batak Nusantara Ikut Kampanyekan Seruan Melawan Konten 'Bahasa Kotor' di Media Sosial
Itulah ungkapan yang menjadi semboyan Jabu Bonang di Sumatera Utara untuk menghidupi semangat pelestarian salah satu wastra Nusantara, yaitu ulos.
Spirit itu juga yang menjadi awal bergeloranya Toba Tenun.
Berdiri pada 2018, Toba Tenun dibesut oleh Kerri Na Basaria yang terinspirasi dari sang ibu yang merupakan kolektor wastra.
Baca Juga:
HBB Dukung Kampanye PBB Lawan Konten 'Bahasa Kotor' di Media Sosial, Begini Seruan Lamsiang Sitompul
Pemilihan ulos karena Kerri yang besar di tengah keluarga Batak ini selalu dilingkupi ulos dalam berbagai kegiatan, terutama di tiap acara penting.
Namun, belakangan, ia menangkap sinyal keberadaan ulos yang kian memudar.
Ulos yang merupakan kain tradisional Batak ini memang selalu hadir dalam ragam upacara dan perayaan.
Dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian.
Bahkan ulos juga diberikan kepada ibu yang tengah mengandung sebagai bentuk perlindungan bagi si ibu dan memudahkan proses persalinannya nanti.
Untuk berbagai upacara ini, ulos yang digunakan tidak asal.
Ada motif khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan dan acaranya.
Akan tetapi, perlahan jenis motif ini terkikis dengan sendirinya karena tak ada lagi generasi penerus yang mewarisi kemampuan membuat motif-motif tersebut.
Bahkan generasi muda juga sudah berbeda pandangan terhadap ulos.
Salah satunya terlihat dari ragam ritual yang tak lagi dilakukan, juga bentuk kekerabatan antarkeluarga besar yang berubah di mata anak muda.
Kendati demikian, ulos sesungguhnya juga dapat dikenakan di luar acara adat.
”Kenapa hanya untuk adat? Kenapa ulos enggak bisa setara dengan batik atau ikat? Pertanyaan pun berkembang lagi dengan memikirkan apa sih yang sebenarnya terjadi di Sumatera sana? Cerah enggak masa depan ulos? Bagaimana penenun di sana? Ternyata memang ulos hampir punah karena kurangnya regenerasi penenun ulos di Tobasa, salah satunya,” ungkap Kerri, saat jumpa pers pada Hari Ulos Nasional yang jatuh pada 17 Oktober 2021.
Lewat riset dan pendalaman langsung di Tobasa, Sumatera Utara, satu per satu persoalan berupaya diurai.
Dukungan terhadap para penenun, edukasi, hingga ceruk ekonomi yang dapat diperoleh dengan melestarikan tenun ulos ini dipaparkan melalui aneka lokakarya yang diselenggarakan secara rutin.
Sampai terbentuk komunitas Jabu Bonang yang mewadahi para ibu dan generasi muda yang berlanjut menenun.
Bahkan kemampuan softskill juga dibekali, hingga konseling untuk persoalan kekerasan dalam rumah tangga, isu reproduksi, sampai terapi sosial.
”Itu sangat penting, isu pemberdayaan perempuan yang juga harus tersampaikan. Sebenarnya pelaku budaya sering lupa bahwa ada perempuan di baliknya. Para perempuan penenun ini merupakan tulang punggung keluarga, juga dengan banyak tantangannya,” ujar Kerri.
Jabu Bonang kini tak hanya berada di Tobasa.
Sudah meluas ke beberapa daerah sekitar, seperti Samosir, Simalungun, dan Siantar.
Mereka kembali menenun dengan tangan.
Tak hanya menenun, para perempuan ini juga diajarkan untuk melakukan pewarnaan alami menggunakan bahan alam mengingat salah satu tujuan dibentuknya Toba Tenun adalah membangkitkan wastra Sumatera Utara yang eco-friendly.
Erlina Pardede yang tergabung dalam Jabu Bonang ini mengonfirmasi kesulitan terkait motif ulos.
Penenunnya kini bertumbuh, tetapi pangatip atau orang yang membuat motif ini masih belum tergantikan sehingga banyak motif yang hilang.
Di komunitas ini, beberapa motif yang terus coba dilestarikan adalah sibolang yang merupakan simbol kesuburan, ragi hotang yang motifnya seperti serat pohon dan biasa digunakan untuk upacara pernikahan.
Ada juga ulos bintang maratur yang biasanya diberikan untuk bayi baru lahir atau bagi anak yang baru saja masuk ke rumah sebagai bentuk doa agar kehidupan mereka selanjutnya diberkahi.
Tren
Harapan untuk tidak berhenti pada kegunaannya dalam acara adat, Toba Tenun juga memproduksi busana casual, seperti kemeja dan kaus yang dipadu dengan ulos.
Untuk desainnya, Toba Tenun masih terus mengembangkan sambil melihat tren yang digemari anak muda saat ini.
“Basic-nya kan kami bukan desainer. Kami terbuka saja untuk bekerja sama. Apalagi salah satu cara melestarikan ulos ini memang harus mau beradaptasi dengan zaman dan berinovasi. Dengan memunculkan ulos pada kemeja, kaus, atau ragam busana lain, diharapkan dapat menggugah anak muda untuk mau mengenakan ulos di luar acara adat,” ujar putri bungsu dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, ini.
Upaya melestarikan wastra ini memang penuh jalan terjal, tetapi perlu dilakoni agar budaya negeri sendiri tak punah. [dhn]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Mengembalikan Kejayaan Ulos”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/gaya-hidup/2021/10/31/mengembalikan-kejayaan-ulos.