Sebelumnya, Profesor Imunologi dari Universitas ETH, Sai
Reddy, melontarkan istilah Covid-22 dalam wawancara dengan koran berbahasa
Jerman-Swiss, Blick, terkait pandemi.
Dalam wawancara itu Sai melontarkan istilah Covid-21 dan
Covid-22. Covid-21 disebut sebagai gambaran gelombang baru infeksi virus corona
imbas munculnya varian Delta di 2021.
Baca Juga:
Tips Cara Mengatur Ruang Pribadi Hindari Konflik dengan Pasangan Saat Pandemi
Sementara pernyataan Covid-22 yang ia lontakan adalah untuk
menunjukkan kemungkinan gelombang penularan Covid-19 baru yang lebih buruk dari
tahun ini, pada awal tahun 2022 sekitar Januari hingga Maret.
"Yang ingin saya sampaikan adalah ketika SARS-CoV-2 berevolusi
secara harfiah, pemikiran kita tentang bagaimana merespons dan menangani
pandemi juga harus berkembang," tambahnya.
Bahkan dengan varian Covid saat ini, Istilah Covid-22 atau Covid-21
tidak ada, sebab para ilmuwan belum mengidentifikasi mutasi genetik yang
menyebabkan virus menjadi spesies baru. Rossman menambahkan bahwa mungkin saja
kita tidak akan pernah menggunakan istilah seperti ini.
Baca Juga:
Dukung Estafet Keketuaan ASEAN 2024, Indonesia Beri Hibah ke Laos Senilai Rp 6,5 Miliar
Mark Harris, seorang profesor di School of Molecular and
Cellular Biology di University of Leeds, juga mempertebal kritik tersebut dan
menyebut istilah Covid-22 "tidak membantu dan tidak akurat."
"Covid adalah singkatan dari Penyakit Coronavirus.
Virus yang menyebabkan ini adalah SARS-CoV-2," ungkapnya. "Delta
bukan Covid-21 atau varian dari Covid-19, ini adalah varian dari SARS-CoV-2.
Setiap varian di masa depan juga akan menjadi SARS-CoV-2." tambahnya.
Senada dengan itu, profesor Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan di School of Public Health City University of New York (CUNY), Bruce
Y. Lee, mengatakan bahwa belum ada Covid-20 atau Covid-21 karena semua varian
yang muncul selama pandemi yang sedang berlangsung berasal dari garis keturunan
atau keluarga yang sama dengan SARS-CoV-2.