WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tren “Rp 10.000 di tangan istri yang tepat” yang tengah viral di TikTok kini menuai sorotan serius karena dinilai bisa menimbulkan tekanan sosial terhadap kaum istri.
Dalam tren tersebut, suami digambarkan pelit karena hanya memberikan Rp 10.000 untuk belanja harian, sementara istri seolah dituntut mampu memenuhi seluruh kebutuhan keluarga dengan jumlah yang sangat minim.
Baca Juga:
5 Cara Sederhana Menjaga Kesehatan Mental agar Hidup Lebih Bahagia
Psikolog klinis Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., yang berpraktik di RS DR Oen Solo Baru, menegaskan pada Rabu (1/10/2025) bahwa tren ini bisa menimbulkan tuntutan tak realistis.
“Harus dilihat juga konteks biaya hidup, karena tiap kota punya minimal pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Joko, mengutip Kompas.
Menurutnya, di kota seperti Surakarta, uang belanja Rp 10.000 mungkin masih bisa dimaksimalkan karena harga pangan relatif murah.
Baca Juga:
Psikolog Ingatkan OCD Bisa Hambat Hidup Sehari-Hari, Bukan Hanya Kebiasaan Rapi
Namun, bagi yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, jumlah itu bisa jadi hanya cukup untuk memberi makan satu orang atau paling banyak sekali makan sekeluarga.
“Kita harus melihat konteks, jangan asal menekan pada istri, apalagi memberikan stigma bahwa istri gagal kalau tidak bisa menekan sampai Rp 10.000,” ujarnya.
Pengamat sosial Prasanti menambahkan bahwa tren semacam ini bisa memperkuat stereotip bahwa urusan keuangan rumah tangga sepenuhnya dibebankan pada istri.
“Padahal tanggung jawab keluarga itu harusnya dibagi, bukan hanya menekan istri sampai stres karena dianggap boros,” ucap Prasanti.
Ia menilai, fenomena viral ini sebenarnya menggambarkan ironi masyarakat yang cenderung memuja penghematan ekstrem, tanpa mempertimbangkan realitas ekonomi dan kesehatan keluarga.
Tren ini bahkan bisa melahirkan stigma bahwa istri tidak pandai mengatur keuangan jika tidak mampu mengelola uang belanja Rp 10.000 untuk tiga kali makan keluarga.
Situasi tersebut berpotensi memicu konflik rumah tangga jika komunikasi antara pasangan tidak berjalan sehat.
“Tekanan yang tidak realistis bisa memicu stres kronis dan perasaan gagal pada istri, karena merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang sebetulnya mustahil,” jelas Joko.
Prasanti menambahkan, tren ini seolah menjadi bentuk “lomba penghematan” yang bisa berbahaya, karena mendorong pasangan untuk mengorbankan kualitas hidup dan gizi keluarga.
Menurutnya, suami-istri boleh berhemat, tapi harus tetap realistis dan saling berbagi tanggung jawab dalam mengelola nafkah.
Joko pun menekankan bahwa kesehatan tetap harus diutamakan dalam pengeluaran belanja sehari-hari.
Dengan uang Rp 10.000, pasangan suami istri harus memastikan makanan yang dibeli tidak sekadar murah, tapi juga aman dan bergizi.
Jika sudah memiliki anak, penting memastikan kebutuhan nutrisi mereka terpenuhi agar tumbuh kembang berjalan optimal.
“Pertanyaannya, apakah dengan menghemat sebesar itu justru memberi manfaat, atau malah menimbulkan kerugian jangka panjang,” pungkas Joko.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]