WahanaNews.co | Musim penghujan telah tiba, ditandai dengan terjadinya banjir hingga longsor.
Namun, yang sering luput dari perhatian adalah dampak lainnya yang juga butuh perhatian. Ancaman senyap itu adalah gigitan ular berbisa.
Baca Juga:
Tertangkap Basah, Pria Ini Sembunyikan 104 Ular Hidup dalam Celana di Perbatasan China
Bulan Oktober-Desember seiring musim hujan datang, banyak telur ular menetas. Telur-telur itu menetas di sekitar permukiman manusia akibat alih fungsi lahan. Tanpa penanganan tepat, imbasnya mengancam nyawa hingga matinya ular di tangan manusia.
Tahun lalu contohnya, fenomena ini banyak terjadi di sejumlah daerah. Induk kobra menaruh telur di sekitar hunian manusia sekitar Agustus-September setelah pesta musim kawin usai.
Ironisnya, hal itu tidak dibarengi dengan mitigasi yang ideal. Banyak tempat tersembunyi di sekitar permukiman dibiarkan tak terurus membuatnya menjadi tempat nyaman ular meletakkan telurnya. Hal ini kemudian membuat pertemuan ular dengan manusia menjadi semakin dekat.
Baca Juga:
Detik-detik Mengerikan: Wanita 50 Tahun di Sidrap Tewas Ditelan Ular Piton
Ahli gigitan ular berbisa Dokter Tri Maharani menyebutkan, periode Januari 2020 hingga awal Januari 2021, tercatat 627 laporan kasus gigitan ular di Indonesia. Sebanyak 62 orang di antaranya tewas.
Artinya, sekitar 10 persen dari korban gigitan ular berbisa di Indonesia meninggal. Padahal, menurut Tri, tingkat kematian karena gigitan ular berbisa secara global rata-rata 2 persen.
Jumlah itu juga jauh lebih besar dibandingkan tahun 2019. Waktu itu, terdapat 587 kasus gigitan ular berbisa di Indonesia dan 52 orang meninggal.
Sementara, pada tahun 2018 terdapat 782 kasus gigitan ular yang dilaporkan dan 49 orang meninggal. Tahun 2017, ada 689 kasus gigitan ular dan 42 orang meninggal.
Kurangnya ketersediaan antivenom
Peningkatan di tahun 2020-2021 bisa jadi dipicu keterlambatan penanganan akibat penuhnya rumah sakit akibat pandemi. Namun, minimnya ketersediaan jumlah dan jenis serum antivenom di rumah sakit di Indonesia harus menjadi perhatian.
Sebagian besar ular berbisa di Indonesia belum ada serum antivenom yang tersedia di dalam negeri.
Tri menyebutkan, sampai saat ini, Indonesia hanya memiliki tiga serum antibisa (antivenom), yaitu untuk gigitan ular kobra, ular belang, dan ular tanah.
"Tiga serum ini biasanya dipakai polivalen untuk lima jenis gigitan ular karena kobra ada dua jenis, yaitu kobra jawa dan kobra sumatera, demikian juga welang ada dua jenis,” jelas Tri.
Indonesia bahkan belum memiliki serum antibisa ular king kobra (Ophiophagus hannah), yang telah menelan banyak korban. Oleh karena itu, penanganan tepat sebelum dan sesudah kejadian menjadi kunci penting mencegah hal tidak diinginkan.
Pemahaman tentang cara hidup ular hingga penanganan bila terjadi gigitan juga mutlak diketahui. [qnt]