WahanaNews.co | Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Kiki Yuliati mengungkaplan beberapa faktor yang membuat pendidikan vokasi kurang dilirik masyarakat.
Padahal, kata Kiki, jika ditelaah, pendidikan vokasi mampu menyiapkan lulusan kompeten yang relevan sesuai kebutuhan industri.
Baca Juga:
SMKN 1 Lumut Bertransformasi Menjadi BLUD, Siap Kembangkan Teaching Factory
"Faktor itu pertama, pendidikan vokasi di SMK dan pendidikan tinggi memberikan praktikum lebih banyak dibanding perguruan tinggi akademik. Kemudian Investasi teknologi belum lagi operasionalnya," kata Kiki usai membuka Konferensi Nasional Vokasi 2023 yang merupakan rangkaian Dies Natalis Fakultas Vokasi Universitas Airlangga Surabaya, Kamis (22/6/2023).
Faktor lainnya adalah paradigma masyarakat masih kepada gelar, bukan pada keterampilan dan sertifikasi kompetensi.
Hal itu, lanjut Kiki, diperkuat dengan rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) yang memberikan syarat jabatan-jabatan birokrasi dengan menggunakan jenjang strata.
Baca Juga:
Tanpa Kolaborasi dengan Industri, Pendidikan Vokasi Tidak akan Sukses
"Sehingga masyarakat juga berpikir bahwa ijazah strata 1 sangat dibutuhkan dalam dunia industri," ujarnya.
Menurut Kiki, peluang pendidikan vokasi di dunia industri sangat terbuka lebar. Karena industri di Indonesia akan diarahkan ke industri lapangan kerja dengan keterampilan menengah dan tinggi.
"Sehingga sumber daya manusia harus terdidik dan terlatih. Di situ peran vokasi. Karena lapangan kerjanya maunya dengan keterampilan menengah (SMK sederajat) dan tinggi," jelasnya.
Untuk itu, pihaknya berupaya untuk menyiapkan lulusan dengan kompetensi masa depan bukan kompetensi masa lampau dan memastikan lulusan vokasi punya kompetensi yang memiliki relevansi dengan industri. Misalnya saja, sebut dia, prodi-prodi yang berkaitan dengan tata boga atau pangan.
Ada opsi, bagaimana membuat pangan eksotis menjadi menarik. Menjadi kebutuhan pangan masyarakat dengan rendah kalori dan tinggi serat.
"Opsi lain di prodi yang sama di bidang pangan, bagaimana membuat industri pangan menyediakan pangan sesuai kebutuhan masa depan melalui keterampilan mereka," jelasnya.
"Karena ke depan pangan tidak sekadar memenuhi gizi. Tapi juga rekreasi, dan atraksi. Bisa tidak prodi ini menyiapkan lulusan soal ini. Bagaimana vokasi harus terus menyesuaikan kompetensi lulusan, karena kebutuhan akan terus berubah," tambahnya.
Ke depan, kata Kiki, tantangan pendidikan vokasi akan semakin kompleks. Ini berkaitan pada akses ketersediaan daya tampung pendidikan vokasi yang masih sangat kecil dibanding prodi sarjana, sehingga harus memperluas akses.
Kemudian, persoalan relevansi erat terkait kemampuan perguruan tinggi dalam menyiapkan teknologi relevan dan mutakhir dan butuh investasi teknologi yang tidak murah.
Tantangan lain adalah ketersediaan dosen, guru dam instruktur di bidang vokasi yang masih sedikit.
Di lain sisi, guru terampil, dan spesifik khusus juga dibutuhkan oleh industri.
Dekan Fakultas Vokasi Unair Prof. Anwar Maruf menilai minat masyarakat untuk melanjutkan ke pendidikan vokasi mulai terlihat tinggi di jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) dan Mandiri.
"Dari 19 prodi hampir seluruhnya keketatannya untuk masuk sama dengan akademik sama. Bahkan prodi K3 keketatan hampir 700 sekian. Ini menunjukkan minat vokasi sama dan sejajar dengan akademik," katanya.
Dia menilai pendidikan vokasi di Indonesia masih kurang jauh dibanding akademik.
"Bahkan masyarakat di Indonesia yang ingin masuk kuliah tidak peduli akademik atau vokasi. Keinginannya hanya dapat bekerja. Padahal kalau masuk akademik ini arahnya menjadi seorang ilmuan. Kalau memilih vokasi ini pasti pengen kerja," tutupnya.
[Redaktur: Zahara Sitio]