WahanaNews.co | Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah terbiasa mengonsumsi beras atau nasi untuk makanan sehari-hari.
Namun faktanya, ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras bisa menimbulkan kerentanan terhadap ketahanan pangan kita. Coba bayangkan jika tingkat kebutuhan dan permintaan beras nggak seimbang dengan produktivitas, maka yang terjadi adalah persoalan pangan yang serius.
Baca Juga:
Pemerintah Tetapkan Peraturan HET Beras Medium dan Premium melalui Bapanas
Agar hal itu nggak terjadi, sudah sejak lama pemerintah menganjurkan kita mengombinasikan beras dengan bahan makanan lain yang mempunyai kandungan gizi sama dengan beras. Tapi, kita tahu sendiri anjuran itu masih sulit untuk dijalankan oleh banyak orang.
Beberapa riset telah dilakukan untuk membuat inovasi agar bahan karbohidrat lain bisa menggantikan beras. Salah satunya adalah membuat produk pangan dalam bentuk beras dari sumber karbohidrat nonpadi. Beras dari sumber karbohidrat lain ini disebut beras analog.
Menurut dosen Teknologi Hasil Pertanian Universitas Slamet Riyadi Yannie Asrie Widanti, beras analog adalah beras yang bahannya dari umbi-umbian dan biji-bijian seperti ubi, singkong, jagung, pisang, sukun, kedelai, bekatul, sorgum, dan lainnya.
Baca Juga:
Jelang Idul Adha, Pemkab Sigi Pantau Stabilitas Harga Beras dan Jagung
Bentuk fisik beras analog mirip butiran beras padi. Ini berguna membantu psikologis masyarakat Indonesia agar tetap merasa seperti makan nasi dari beras padi. Beras analog juga padat gizi dan mudah dimasak.
Memang warnanya tak seputih beras padi. Namun, saat disimpan, beras analog lebih tahan lama dan tak mudah berkutu.
Harga Masih Mahal
Meski diharapkan jadi salah satu alternatif pengganti beras padi, harga beras analog masih tergolong mahal. Cara membuatnya harus melalui proses khusus, ditambah konsumennya yang belum banyak. Harga beras analog pun masih tinggi.
Kita mungkin jarang menemukan bahan makanan pokok ini dijual di warung-warung kelontong. Tapi, jika menilik ke lapak e-commerce, banyak yang menjual beras analog dari bahan jagung, ubi, singkong, dan lainnya.
Para toko daring itu menjual dengan berbagai ukuran dan harga. Sebagai gambaran, satu kilogram beras jagung dijual dengan harga Rp 40.000, beras ubi ungu Rp 50.000, dan beras singkong Rp 25.000. Hm, jauh lebih mahal ketimbang beras biasa, ya?
Walau harganya mahal, sudah ada masyarakat yang mengonsumsi beras analog. Kebanyakan mereka adalah yang sadar akan gaya hidup sehat atau mengidap penyakit tertentu yang menghindari beras padi.
Sebenarnya memang tak harus buru-buru beralih dari beras padi ke beras analog. Hal yang lebih penting dari itu adalah kesadaran kita untuk mau mengubah pola konsumsi nasi padi dari yang awalnya sebuah keharusan, jadi makanan yang tak harus dikonsumsi setiap hari. [qnt]