WahanaNews.co | Perhimpunan Dokter Forensik (PDFI) Jawa Timur, umumkan hasil autopsi dan pemeriksaan 2 jenazah korban dari Tragedi Kanjuruhan tak terdapat kandungan zat gas air mata.
Namun, PDFI menemukan penyebab utama kematian adalah patah tulang dan pendarahan berat.
Baca Juga:
Ingat Suporter Mengerang di Kanjuruhan, Panpel Arema FC Menangis
Hal itu diungkapkan Ketua PDFI Jatim, dr Nabil Bahasuan.
Ia mengaku timnya sudah menyelesaikan rangkaian proses autopsi dan pemeriksaan patologi forensik kepada dua jenazah.
"Kami tim PDFI Jatim Alhamdulillah sudah menyelesaikan semua rangkaian pemeriksaan luar, pemeriksaan tambahan, dalam kasus Tragedi Kanjuruhan terhadap dua korban," kata Nabil ditemui di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Rabu (30/11).
Baca Juga:
Sidang Kanjuruhan, Ahli: Gas Air Mata Tak Bisa Dideteksi di Jenazah
Dua jenazah korban Tragedi Kanjuruhan yang diautopsi itu adalah kakak beradik NDR (16) dan NDB (13).
Mereka merupakan anak perempuan dari DAY (41), seorang Aremania asal Bululawang, Malang.
Nabil menekankan pihaknya diberikan izin penyidik untuk memberikan penjelasan sebatas kesimpulan saja. Oleh karena itu informasi lengkap nantinya akan disampaikan di proses pengadilan.
"Jadi untuk hasil dari NDR (16). Itu didapatkan kekerasan benda tumpul. Adanya patah tulang iga, 2, 3, 4, 5. Dan di sana ditemukan perdarahan yang cukup banyak. Sehingga itu membuat sebab kematiannya," ujarnya.
Hal serupa juga ditemukan di jenazah kedua, yang tak lain adalah adik kandung NDR sendiri. Dia juga mengalami patah tulang iga.
"Kemudian, adiknya NDB (13). Juga sama tapi ada di tulang dadanya. Patahnya itu. Juga di sebagian tulang iga, sebalah kanan," ucapnya.
Nabil mengaku tak bisa menyebutkan apa penyebab tulang-tulang korban itu patah.
Ia hanya bisa memastikan penyebab kematian korban adalah karena kekerasan benda tumpul.
"Di kedokteran forensik kita tidak bisa mengatakan itu karena apa. Tapi karena kekerasan benda tumpul. Untuk pastinya, tentu di penyidikan yang tahu," ucap dia.
Pemeriksaan Ahli BRIN atas Kandungan Zat Gas Air Mata
Selanjutnya, di dalam tubuh korban ternyata tak ditemukan adanya kandungan zat gas air mata atau zat beracun lainnya.
Hal itu, kata Nabil, merupakan pemeriksaan toksikologi yang dilakukan ahli dari Badan Riset dan Informasi Nasional (BRIN).
"Dari hasil pengumpulan sampel yang ada pada kedua korban. Kami sudah mengumpulkan kepada BRIN dan didapatkan tidak terdeteksi adanya gas air mata tersebut," kata dia.
"Untuk lebih jelasnya, nanti di pengadilan bisa didatangkan ahli dari BRIN tersebut yang memeriksa hasil sampel toksikologi kita," ucapnya.
Lebih lanjut, Nabil mengatakan, saat dilakukan autopsi dan ekshumasi, sebagian organ tubuh jenazah juga mulai membusuk. Meski demikian ia meyakini pemeriksaan in tetaplah akurat.
"Jadi kedua korban ini sudah mengalami proses pembusukan lanjut. Jadi bisa dibayangkan kita melaksanakan autopsi itu, sudah dalam pembusukan lanjut," katanya.
Sebagai informasi, Tragedi Kanjuruhan terjadi usai laga Liga 1 antara Arema FC versus Persebaya Surabaya pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022.
Usai laga tersebut, aparat menembakkan gas air mata setelah sejumlah suporter turun ke lapangan.
Gas air mata itu ditembakkan pula ke arah tribun penonton, sehingga suporter yang merupakan Aremania panik berdesak-desakan untuk segera berebut keluar stadion.
Hasil temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan gas air mata memanglah sebagai pemicu utama kepanikan berujung tragedi itu.
"Yang mati dan cacat serta sekarang kritis dipastikan setelah terjadi desak-desakan setelah gas air mata yang disemprotkan," kata Mahfud dalam jumpa pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, usai menyerahkan laporan akhir TGIPF ke Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Jumat (14/10).
"Adapun peringkat keterbahayaan racun dari gas itu sedang diperiksa oleh BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional]," tambahnya.
Meskipun demikian, dia menegaskan apapun hasil temuan BRIN itu tak akan mengurangi kesimpulan tim yang terdiri dari tokoh-tokoh lintas sektor itu.
"Tetapi apapun hasil pemeriksaan dari BRIN itu tidak bisa mengurangi kesimpulan bahwa kematian massal itu terutama karena gas air mata," kata Mahfud kala itu.
Hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah diserahkan ke Jokowi via Mahfud pun menyatakan hal yang tak jauh berbeda dengan temuan TGIPF. [rgo]