WahanaNews.co | Aris Suwasana, Kepala SMAN 1 Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membantah pihaknya melakukan penyekapan dan intimidasi kepada salah satu orangtua (ortu) murid bernama Agung Purnomo (41) di Kantor Satpol PP Kabupaten Kulon Progo pada Kamis (29/9/2022) lalu.
"Tidak benar (penyekapan dan intimidasi)," kata Aris kepada wartawan melalui sambungan telepon, Senin (3/10/2022).
Baca Juga:
Benda Asing Mirip Peluru Lukai Balita di Sleman
Dia menjelaskan, pertemuan di Kantor Satpol PP tersebut adalah mediasi seperti biasa dan terjadi dengan baik-baik.
Setelah mediasi, semua pihak, termasuk Agung juga, saling berjabat tangan.
"Iya, jabat tangan semua. Ceritanya gini, Mas Agung ini kan mau keluar, tetapi lupa jabat tangan sama Pak Kasatpol PP, balik lagi jabat tangan, terus dibuka pintu, terus diantar sampai parkir oleh Pol PP," katanya.
Baca Juga:
Siap Sambut Investor di Jateng-DIY, PLN Grup Kolaborasi dengan Pemerintah
Di sisi lain, Agung telah melaporkan Aris bersama Kasatpol PP dan Kabid Trantib terkait dugaan penyekapan dan intimidasi ini.
Aris pun menyatakan siap melaporkan balik.
"Ya, saya siap. Saya juga akan ikut melaporkan balik," katanya.
Dijelaskan Aris bahwa persoalan ini bermula dari protes masalah seragam.
Aris menjelaskan bahwa sekolah tidak menjual seragam.
Dalam hal ini, Paguyuban Orang Tua (POT) membantu orangtua lain dalam pembelian seragam, tetapi bersifat sukarela.
"Jadi pertama, gini masalahnya, jadi waktu itu orangtua protes kaitan seragam, kita fasilitasi di sekolah, tetapi setelah di sekolah itu malah ada ortu tidak kondusif, gebrak meja. Di situ tidak selesai permasalahan itu," katanya.
Selanjutnya, Agung ini keluar dan menemui perwakilan POT.
Di sana, menurut Aris, justru Agung-lah yang melakukan intimidasi kepada orangtua lainnya.
Agung, yang merupakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), selalu menyebutkan dirinya ini penyidik kepada orangtua siswa lainnya.
"Dia menduga-duga kepala sekolah bermain di situ. Kalau tidak lapor, kalian (POT) ikut kami babat. Kalau Kepsek itu mengakui, itu turun, atau mengundurkan diri, atau gimana," jelasnya.
Padahal, pembelian seragam di POT adalah pilihan.
Dan, menurut Aris, tidak mungkin sekolah bermain.
Terlebih juga waktu itu belum ada pembayaran.
"Dan uang masih di orangtua siswa, kok bisa menuduh seperti itu. Itu kan berarti, gimana itu," ujarnya.
POT dan sekolah pun terbuka dengan kritik Agung.
Namun, Agung tak pernah mau membawa contoh pakaian seharga Rp 35 ribu yang dimaksud.
Bahkan, ketika diajak POT ke toko pun, Agung tidak mau.
"Bandingkan, kalau memang sama harganya, lebih murah itu, kami siap minta kembalikan uang, dan akan kembalikan ke orangtua, tapi dia tidak mau, terus ini arahnya apa to. Arahnya apa, kurang tahu," jelasnya.
"Kami dari awal sudah menyampaikan bahwa pembelian seragam suka rela, pakai pesanan, ada yang pesan celana saja, ada yang pesan baju, ada yang nggak pesan. Yang nggak pesan aja 12," ujarnya.
Mediasi di Kantor Satpol PP Kulon Progo juga bukan tanpa alasan.
Lantaran Agung ini selalu menunjukkan lencana penyidik ke orangtua, maka Aris berpikiran bahwa tempat yang tepat untuk mediasi adalah Satpol PP, karena di sana ada Sekretariat PPNS yang menaungi penyidik.
"Setiap datang ke orangtua, dia selalu menunjukkan ‘saya penyidik’. Dengan POT, Komite, pertimbangan kalau Penyidik PNS sebagai koordinator kan Satpol PP. Ada jahitan dengan penyidik itu, kami minta pertimbangan Sekretariat PPNS di Satpol PP, terus minta izin Kasatpol untuk difasilitasi. Dan yang datang yang berkepentingan," katanya.
Peristiwa Penyekapan Versi Agung
Saat di LBH, Agung yang juga merupakan juru bicara orangtua siswa lain awalnya mengaku mempertanyakan mahalnya harga seragam.
Mereka menanyakan kenapa dengan harga Rp 1,7 juta sampai Rp 1,8 juta kualitas yang didapatkan tidak baik.
Para orangtua siswa ini menilai kualitas seragam dari sekolah itu jelek bukanlah tanpa dasar.
Mereka telah membandingkan item seragam dari sekolah dengan harga seragam tertinggi di toko-toko lain.
"Misalkan, seragam warna putih, celana warna putih yang dibeli oleh putra-putri kami. Di situ (sekolah) tercatat Rp 72 ribu, kemudian kami bandingkan dengan toko A Rp 30 ribu, B Rp 35 ribu, C Rp 40 ribu," kata Agung.
Lalu, pada 29 September 2022, Agung menerima telepon dari anggota Satpol PP Kulon Progo untuk datang ke kantor Satpol PP Kulon Progo pada pukul 14.00 WIB.
Isi pembicaraan di telepon itu, Agung diminta untuk menemui Kepala Satpol PP Kulon Progo.
"Kebetulan saya seorang penyidik PPNS, kebetulan, dan Sekretariat PPNS itu ada di Satpol PP, saya berpikir ketika disuruh datang ke sana ya berkaitan dengan kegiatan kedinasan, apalagi itu jam kerja, hari kerja, dan juga di ruang aset milik negara," katanya.
Namun, ketika dia sampai di Kantor Satpol PP Kulon Progo, bukan hanya Kasatpol PP saja yang menemuinya.
Di situ ada oknum Satpol PP lain, orang-orang dari SMAN 1 Wates, orang dari POT, serta Komite Sekolah.
Total ada 8 orang yang menemui Agung saat itu.
Sementara Agung sendirian.
"Saya, terus terang, pada saat itu perasaan saya sudah tidak enak, saya sudah merasa dijebak. Dan benar apa yang terjadi, saya diintimidasi. Ditanya, apa motivasi, motif kamu untuk menanyakan pengadaan seragam di sekolah ini, apakah kamu ingin bikin gaduh di SMA 1 Wates, kamu alumni SMA 2 Wates, ngapain kamu bikin gaduh di SMA 1 Wates," kata Agung.
Intimidasi terus berlanjut, Agung ditanya sudah sampai mana melaporkan soal seragam ini.
Dia pun menyatakan tidak pernah lapor apa-apa.
Namun, dia sempat menyebut bahwa orangtua murid ada yang melapor ke Ombudsman, meski dia baru tahu setelahnya ternyata orangtua tersebut belum melapor.
"Kemudian tiba-tiba Satpol PP berdiri dari ujung yang agak jauh, 'kamu jangan enggak sopan sampai di sini ya, maksudmu opo', kemudian mendekati ke arah saya. Kemudian Satpol PP satunya juga bilang, 'wes dirampungke neng kene wae' (selesaikan di sini aja), kemudian Satpol PP juga berkata, 'entekke sisan koe yo' (habisin saja kamu ya)," ujar Agung, sembari menangis.
Agung mengaku bahwa saat itu dirinya merasa ketakutan.
Dia takut kejadian yang menimpa ASN di Semarang juga menimpa dirinya.
Saat itu, Agung merasa beruntung, karena saat itu ada 1 dari 8 orang yang masih berkepala dingin, yaitu Komite SMA N 1 Wates bernama Sarji.
Saat itu pula anggota Satpol PP mengatakan Agung tidak bisa keluar jika belum memberikan jawaban.
"Kemudian saya minta keluar, tetapi ada salah satu oknum dari Satpol PP yang bilang, 'kamu enggak akan bisa keluar sebelum kamu memberikan jawaban apa yang sebenarnya terjadi dan motif kamu apa'," katanya.
Setelah itu, Agung baru bisa keluar ruangan setelah Komite Sekolah memberikan arahan kepada orang-orang yang ada di ruangan.
Total, sekitar 2 jam Agung berada di ruang tersebut.
Agung pun mengakui sempat bersalaman dengan 8 orang yang ada di ruangan itu.
"Sebelum pulang, saya menjabat tangan mereka. Tapi, dalam hati, saya sakit hati sama kalian. Akhirnya, saya sampai di pintu, lari ambil motor, dan lari begitu saja," katanya.[gun]