WahanaNews.co | Pengelola bus rapid trans (BRT) Semarang mengalami kerugian hingga Rp 21 miliar, lantaran tingkat okupasi penumpang menurun drastis, yakni hingga 60 persen selama pandemi Covid-19. Penurunan penumpang ini dipicu aturan protokol kesehatan mengenai pembatasan kapasitas pada setiap armada bus.
"Selama Corona mencapai Rp21 miliar. Keterisian penumpang seluruh koridor di Semarang hanya 40 persen, misalnya semester I 2021 sampai semester II 2021 keterisian penumpangnya hanya 40 persen. Turun drastis karena aturan physical distancing, maka frekuensi perjalanan BRT dipangkas dari awalnya satu koridor melayani tujuh trip, kini dikurangi jadi empat trip," kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Semarang Endro Pudyo Martanto, Senin (29/11).
Baca Juga:
DPRD Kota Semarang Minta Pemerintah Tingkatkan Kesiapan Hadapi Banjir Musim Hujan
Dia menyebut selain ada pembatasan protokol kesehatan, kondisi penumpang BRT berkurang dengan adanya aturan pembelajaran daring bagi para pelajar, perguruan tinggi, hingga karyawan swasta.
"Padahal okupasi penumpang banyak didominasi pelajar, mahasiswa sampai karyawan swasta. Jadi tidak adanya pertemuan tatap muka ditambah lagi ada pengurangan karyawan selama masa pandemi, otomatis dampaknya sangat terasa sekali pada transportasi massal seperti BRT," ungkapnya.
Dishub mengakui selama tahun 2020 hingga 2021 menjadi momen terberat bagi transportasi BRT di Semarang. Sebab dua tahun ini pihaknya tidak bisa memenuhi target tahunan yang ditetapkan Pemkot Semarang.
Baca Juga:
BRT Bandung Raya Ditargetkan Beroperasi Pertengahan 2024
"Realisasi target keuntungan BRT sekitar 70 persen dari total target yang dibebankan pada tahun ini. Ini tahun paling berat buat kita. Kami harus bisa mempertanggungjawabkan target pendapatan. Tapi karena kondisinya yang logis, saya rasa pertanggungjawaban dari saya akan diterima oleh Pak Wali Kota Semarang saat rapat pembahasan tahunan," jelasnya.
Endro menyampaikan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai pengelola BRT Semarang, saat ini yang dilakukan hanya bisa berusaha sekuat tenaga mengoptimalkan layanan yang berjalan saat ini.
"Kondisi pandemi Covid-19, yang bisa dilakukan yakni memaksimalkan pelayanan transportasi umum. Kita juga melakukan efisiensi operasional. Kita masih bersyukur tidak ada karyawan yang dirumahkan, karena operasional BRT dibiayai oleh APBD. Hanya uang makan bagi karyawan dihilangkan," ujarnya.
Total ada 600 sopir BRT yang masih aktif bekerja setiap hari, para sopir tetap diberi gaji bulanan sesuai UMK Kota Semarang. "Gajinya driver BRT tetap dibayar rutin Rp3,2 juta per bulan. Kita punya 248 armada, masing-masing bus ada dua sopir, jadi totalnya ada 600 sopir," pungkasnya. [qnt]