WahanaNews.co | Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan pembongkaran 19 rumah warga di atas lahan yang diklaim sebagai lahan milik pemerintah di Desa Linamutu, Timor Tengah Selatan atau lebih dikenal dengan sebutan kawasan Besipae.
Aksi pembongkaran paksa di desa yang jadi bagian Kecamatan Amanuban Selatan itu pun viral di media sosial.
Baca Juga:
Beredar Kabar, Pemprov NTT Tidak Buka Formasi PPPK Tahun 2022
Salah satu warga Besipae, Daud Selan, mengatakan pembongkaran itu dilakukan tengah pekan lalu, Kamis (20/10).
"Bongkarnya hari Kamis," ujar Daud kepada Wartawan, Sabtu (22/10).
Daud menuturkan, alasan pembongkaran tersebut karena di lahan tersebut akan dibangun jalan masuk ke hutan dan kandang untuk peternakan sapi.
Baca Juga:
Miris! Rumah Dibongkar, Warga Besipae NTT Tidur di Bawah Pohon
"Katanya mau bangun jalan masuk ke ke hutan dan buat kandang sapi," ujar Daud.
Pembongkaran itu, kata dia, dilakukan Satpol PP yang dipimpin Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Alex Lumba dengan dikawal ketat aparat Polres Timor Tengah Selatan dan Brimob bersenjata lengkap.
"Mereka bawa Pol PP, Polisi, Brimob datang gusur," ujar Daud.
Dia mengungkapkan, dari 19 rumah yang dibongkar tersebut termasuk 12 rumah yang pernah dibangun Pemprov NTT sendiri bagi masyarakat sebagai kompensasi atas penggusuran yang terjadi pada 2020 silam. Sedangkan tujuh rumah lainnya adalah yang dibangun sendiri oleh masyarakat setempat.
"Jadi mereka (Pemprov NTT) bangun [rumah], kasih masyakarat, lalu mereka sendiri yang datang bongkar kembali," kata Daud Selan.
Dan ironisnya, lanjut Daud, bahan bangunan dari 12 rumah yang pernah dibangun oleh pemprov tersebut diambil dan dibawa kembali oleh aparat.
Dari yang disampaikan aparat, kata Daud, Pemprov beralasan pembongkaran rumah-rumah tersebut karena milik mereka, sedangkan tujuh rumah lainnya dituding sebagai bangunan liar di lahannya.
Daud mengatakan warga di sana sangat menyesalkan sikap Pemprov NTT yang membongkar kembali rumah yang pernah dibangun bagi masyarakat setempat pada 2020 silam.
"Sekarang kita bingung mau tinggal di mana, karena rumah yang mereka (Pemprov NTT) kasih mereka bongkar lagi," tandasnya.
Akibat pembongkaran tersebut kata Daud, saat ini 23 Kepala Keluarga kehilangan tempat tinggal. Setidaknya 23 Kepala Keluarga itu terdiri atas 86 jiwa dengan jumlah anak-anak dan bayi sebanyak 46.
Dia menjelaskan, saat ini masyarakat yang rumahnya dibongkar hanya bisa berteduh dan tinggal di bawah pohon.
"[Masyarakat] lagi tinggal di bawah pohon. hujan juga mandi hujan, bayi balita dan lansia semua diguyur hujan, terus mau tinggal di mana," kata Daud.
Saat ini tambah Daud, masyarakat sangat membutuhkan terpal agar bisa dijadikan tempat bernaung, apalagi sekarang sudah memasuki musim hujan.
Penjelasan Bapenda NTT
Sementara itu, Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Alex Lumba menjelaskan alasan pembongkaran dan penggusuran tersebut karena di atas lahan seluas 3.780 hektare di kawasan Besipae tersebut akan dilaksanakan program pemberdayaan masyarakat.
Namun rencana pembangunan jalan di lahan milik Pemprov dalam kawasan tersebut ditolak warga setempat dengan menggunakan perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi protes.
"Mereka (warga) mengedepankan perempuan dan anak-anak (untuk lakukan aksi protes), ada buktinya," jelas Alex Lumba didampingi Plt Sekda NTT, Johanna Lisapaly kepada wartawan di Kantor Gubernur NTT, Kupang, petang.
Menurutnya, aksi protes warga menggunakan 'tameng' perempuan dan anak-anak dengan menaiki eksavator. Selain itu, sambungnya, ada pula penganiayaan sekelompok orang di Besipae terhadap seorang petuga pemerintahan.
Menurutnya, papun keputusan pemerintah atas lahan di kawasan tersebut selalu dianggap salah dari sudut pandang pemikiran masyarakat.
"Pemerintah dalam kaitan dengan program pemberdayaan masyarakat di lokasi itu selalu salah," kata Alex tanpa merinci jenis program pemberdayaan yang hendak dilakukan Pemprov NTT di kawasan Besipae.
Sebagai informasi, sengketa lahan yang diklaim Pemerintah Provinsi NTT di kawasan Besipae ini telah berlangsung sejak 2020 silam. Pemprov mengklaim memiliki lahan seluas 3.780 hektar di kawasan Besipae, padahal ada warga yang mendiami daerah itu. Mereka pun menolak klaim pemprov sebagai pemilik lahan. [afs]