WahanaNews.co | DPRD Sumatera Barat melalui panitia khusus menelusuri dugaan penggunaan
dana penanggulangan Covid-19 yang tak sesuai aturan senilai Rp 49 miliar di
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumbar.
Selain itu, ada pula indikasi pemahalan harga cairan
pembersih tangan senilai Rp 4,9 miliar.
Baca Juga:
BPK Ungkap Kasus Besar: Kerugian Keuangan Negara Rp 60,04 Miliar dari Proyek PetroChina
Wakil Ketua Pansus Covid-19 DPRD Sumbar, Nofrizon, Rabu
(24/2/2021), mengatakan, penelusuran itu didasari Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
"Anggaran Rp 49 miliar ada indikasi diragukan
penggunaannya. Kami siang ini meminta keterangan tim audit BPK," kata Nofrizon.
Nofrizon menjelaskan, BPBD Sumbar mendapatkan anggaran
Rp 160 miliar untuk penanganan Covid-19.
Baca Juga:
Indofarma Benarkan BPK Sudah Serahkan Masalah Penyimpangan Keuangan ke Kejagung
Sebanyak Rp 10 miliar kemudian dikembalikan ke kas
negara karena tidak terpakai.
Dari total Rp 150 miliar yang digunakan, Rp 49 miliar
dicurigai tidak sesuai aturan dan Rp 4,9 miliar dicurigai ada indikasi
pemahalan harga.
Kata Nofrizon, Rp 4,9 miliar itu untuk pembelian
cairan pembersih tangan (handsanitizer).
Dari LHP BPK, harga handsanitizer Rp 9.000 per botol dilipatgandakan menjadi Rp 35.000
per botol.
Dana sebanyak Rp 4,3 miliar dari Rp 4,9 miliar itu
sudah dikembalikan rekanan ke kas negara karena temuan BPK itu.
Pansus Covid-19, kata Nofrizon, sudah memanggil
organisasi perangkat daerah (OPD) terkait dan rekanan penyedia barang pekan
lalu.
Dari sebelas rekanan, hanya tiga yang datang memenuhi
panggilan, yaitu satu perusahaan alat kesehatan dan dua perusahaan batik.
"Kami tanya, bapak/ibu dapat kerja (orderan) dari
siapa? Mereka jawab dari istri Kepala BPBD Sumbar. Dari tiga rekanan, dua belum
berpengalaman (perusahaan batik) dan izinnya baru tahun 2020. Masa perusahaan
batik mengadakan handsanitizer?" ujar Nofrizon.
Menurut Nofrizon, ketiga rekanan itu mengaku tidak
memberikan upah (fee) apapun kepada keluarga pejabat yang memberi mereka orderan.
Namun, saat ditanya lebih lanjut ke BPBD Sumbar, salah
satu pejabatnya justru mengakui mendapat upah Rp 5.000 per botol handsanitizer.
"Ia mengaku dapat fee Rp 5.000 per botol. Ada di catatannya di notulensi
rapat pekan lalu. Itu baru handsanitizer, belum lagi thermogun, hazmat, masker, dan lainnya, yang belum sempat kami
telusuri karena waktu terbatas," ujar Nofrizon.
Selain handsanitizer, lanjut Nofrizon, ketiga rekanan itu juga mendapat
paket pengadaan barang lainnya dengan nilai total hingga Rp 17 miliar.
Selain pemahalan harga, proses pembayaran juga dinilai
tidak sesuai aturan karena dibayar secara tunai dengan jumlah miliaran rupiah tanpa
disaksikan oleh petugas inspektorat.
Politisi Partai Demokrat itu menambahkan, Kamis
(25/2/2021), pansus kembali memanggil semua rekanan dan pihak terkait dalam
penggunaan anggaran penanganan Covid-19 di BPBD Sumbar. Adapun hasil
penelusuran pansus bakal disampaikan sehari kemudian.
Kepala Pelaksana BPBD Sumbar Erman Rahman tidak
bersedia menjelaskan lebih lanjut terkait LHP BPK dan penelusuran Pansus
Covid-19 DPRD Sumbar.
Erman hanya mengatakan BPBD Sumbar menghormati dan
menunggu hasil penelusuran oleh pansus.
"LHP BPK kan sudah keluar. Sekarang, pansus sedang
bekerja, tentu kami hormati. Kami berterima kasih kepada pansus telah melakukan
pengawasan kepada kami untuk bekerja lebih baik ke depan. Apa yang diputuskan
pansus, itu yang terbaik bagi kami, kami serahkan ke pansus. Mudah-mudahan
dalam waktu dekat hasilnya keluar," kata Erman.
Ketua DPRD Sumbar Supardi menjelaskan, pembentukan
Pansus Covid-19 untuk menindaklanjuti LHP BPK terkait penggunaan anggaran
penanganan Covid-19 di BPBD Sumbar. Pansus dibentuk 17 Februari 2021 dan punya
waktu kerja seminggu.
Menurut politisi Partai Gerindra ini, hasil kerja
Pansus Covid-19 ini bisa dalam bentuk pendalaman materi ke BPK Perwakilan
Sumbar.
DPRD Sumbar juga bisa meminta BPK melakukan audit
kembali, baik audit investigasi maupun audit lainnya.
"Selain itu, DPRD Sumbar nantinya melahirkan
rekomendasi kepada Pemprov Sumbar agar secepatnya menindaklanjuti dan
melaksanakan rekomendasi yang diperintahkan dalam LHP BPK. Kalau ada unsur
pidana, BPK juga bisa langsung meminta polisi menindaklanjuti," kata Supardi.
Secara terpisah, pengamat hukum kesehatan Universitas
Ekasakti, Firdaus Diezo, mendorong pansus bekerja lebih cepat mengungkap kasus
dugaan penggunaan anggaran Covid-19 tidak sesuai peraturan di BPBD Sumbar.
Ini agar jelas apakah tindakan itu termasuk
pelanggaran atau tidak sehingga bisa segera ditindaklanjuti. Pemerintah daerah
pun kemudian bisa fokus dalam menangani Covid-19.
"Dalam kondisi pandemi Covid-19 sekarang, jika dugaan
(penyelewangan anggaran) ini benar, tentu sangat tidak terpuji. Negara sedang
keteteran menghadapi pandemi, lalu ada dugaan penyelewengan dana," kata Diezo.
Menurut Diezo, apapun bentuk dan motifnya, tindakan
merugikan negara harus diproses secara hukum.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Nomor 1 Tahun 2020, memang ada kelonggaran dalam penggunaan anggaran
dalam kondisi darurat.
Namun, itu tidak serta merta membiarkan penyalahgunaan
anggaran.
Jika terbukti ada tindakan korupsi, kata Diezo, pelaku
bisa dikenakan hukuman mati sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
"Hukuman mati bisa diperuntukkan dalam kondisi
tertentu, termasuk bencana, krisis ekonomi, dan lain-lain. Pandemi Covid-19
sudah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional, sekalipun bukan bencana
alam. Harus ada efek jera, kalau ini terbukti nanti," ujar Diezo. [dhn]