WahanaNews.co | Persoalan tagihan pembayaran PDAM Sumedang di rumah kosong yang terjadi di Perumahan Jatihurip terus berlanjut hingga ke meja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kabupaten Sumedang.
Diketahui, pihak PDAM sendiri diwakili langsung oleh Kepala Cabang Sumedang Utara Heti Purniawati yang didampingi oleh bagian hukum, humas dan staf lainnya.
Baca Juga:
Polda Sulawesi Barat Gencar Patroli Rumah Kosong saat Mudik Lebaran
Selaku orang yang menempati rumah di Jatihurip, Sobar, meminta keadilan dalam segi kebijakan dari pihak PDAM. Karena sebelumnya posisi rumah telah kosong berbulan-bulan.
"Posisi rumah intinya baru diisi sejak awal Desember 2022. Sementara tagihan di saat rumah kosong tiga bulan terakhir nilainya fantastis," ujarnya usai melakukan mediasi dengan pihak PDAM Sumedang, Selasa (3/12/2023) kemarin.
Sobar menjelaskan, yang menjadi tuntutan dirinya adalah untuk bisa membayar beban saja selama rumah dalam posisi kosong. Karena dia memastikan jika tidak ada pemakaian air selama rumah dalam posisi kosong.
Baca Juga:
Tukang Parkir di Medan Sikat Uang Rp 600 Juta dari Rumah Warga
"Tiba-tiba muncul tagihan selama dua bulan itu antara November Desember mencapai Rp 800 ribu lebih. Dan PDAM bilang jika yang november untuk penggunaan air di bulan September. Sedangkan yang Desember untuk penggunaan air bulan Oktober. Saya malah baru tahu perhitungannya seperti itu," paparnya.
Namun demikian, walaupun telah berupaya untuk di mediasi oleh pihak BPSK, kedua belah pihak belum menemukan titik temu. Dan PDAM bersikeras hanya memberikan kebijakan untuk mencicil tagihan senilai Rp 800 ribu lebih.
"Saya tidak keberatan untuk bayar jika ternyata saya gunakan air itu. Dan saya rasa semua masyarakat juga sama. Karena ini berbicara antara hak dan kewajiban. Saya tidak menggunakan hak saya yaitu air, tapi saya harus bayar kewajiban," paparnya.
Sementara itu, Sobar pun menuntut agar pihak PDAM Sumedang untuk mengkalibrasi seluruh alat meteran yang ada di Kabupaten Sumedang dengan minta di awasi oleh pihak BPSK.
Bahkan, Sobar juga akan mencoba berdialog dengan pihak Kejaksaan untuk berdiskusi membahas beberapa temuan dugaan masalah di PDAM Sumedang.
"Saya bukan melaporkan dulu, tapi saya akan mengkonsultasikan temuan dari masyarakat dengan undang-undang perlindungan konsumen yang terindikasi melanggar aturan. Ini untuk pembelajaran bagi semua, dan kebaikan masyarakat Sumedang juga," tuturnya.
Sebelumnya, Sekretaris Perkumpulan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jawa Barat Mpi T Ruswendy menyampaikan terkait undang-undang yang melindungi konsumen.
Mpi memaparkan, ada dua hal yang bisa mempidanakan pelaku usaha khususnya PDAM, sebagai perlindungan terhadap konsumen.
Seperti tertuang dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 18.
"Itu terkait pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen. Jadi jika ada kerusakan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha, tapi dibebankan terhadap konsumen itu kena oleh pasal ini. Untuk sanksi ada di pasal 62, yakni kurungan penjara selama 5 tahun dan denda Rp 2 miliar," terangnya.
Kaitannya dengan PDAM, lanjut Mpi, ketika air tidak digunakan dan kemudian harus bayar sekian ratus ribu, berarti ada hal yang tidak baik-baik saja.
"Disini tugas dari PDAM untuk memberikan pelayanan yang baik. Tadi ada dana pemeliharaan Rp 10 ribu, kenapa tidak dipergunakan," ungkapnya.
Selain itu, hal lain yang dapat mempidanakan PDAM adalah masalah alat. Dimana sudah ada aturan yang membatasi masa pakai alat meteran air PDAM.
Dalam aturan tersebut dikatakan jika masa tera alat meteran PDAM hanya bisa digunakan selama 5 tahun. Jika lebih dari 5 tahun, hal itu dinyatakan telah melanggar.
"Jika meteran air masa tera nya sudah habis, ternyata masih di gunakan itu bisa kena sangsi pidana. Masa tera itu 5 tahun untuk PDAM. Kalau PLN 10 tahun. Kalau masalah itu memang harus ada yang melaporkan. Namun, kalaupun tetap tidak ada yang melaporkan, tapi aturan harus tetap dijalankan dengan membayar denda ke negara," pungkasnya. [sdy]