WahanaNews.co, Jakarta - Seorang guru di SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur, EN, menggunduli belasan siswinya karena tak memakai dalaman jilbab atau ciput. Aksi itu pun dipandang sebagai bentuk kekerasan pada anak.
Pemerhati Pendidikan dan Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, Isa Ansori mengatakan aksi EN tak layak disebut sebagai pembinaan guru kepada murid.
Baca Juga:
Otak Pelaku Pemerkosaan Siswi SMP Hingga Tewas di Palembang Sempat Ikut Yasinan Korban
"Penggundulan terhadap rambut siswi putri di sekolah itu menurut saya itu sudah kategori kekerasan terhadap anak," kata Isa kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/08/23).
Isa mengatakan, apa yang dilakukan EN sudah tak sesuai dengan konsep Sekolah Ramah Anak sebagaimana dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015, dan implementasi Merdeka Belajar di Permendikbud Nomor 57 Tahun 2021.
"Kalau mengikuti Permendikbud 82 tahun 2015, di sana tidak boleh ada pemaksaan terhadap siswa karena itu masuk kategori kekerasan terhadap anak," ucapnya.
Baca Juga:
Siswi Berprestasi Asal Deli Serdang Akan Hadiri Puncak Peringatan HAN di Papua
Menurut Isa, sekolah negeri memang memiliki aturan dan tata tertib tentang seragam. Termasuk jilbab bagi siswi yang beragama Islam.
Namun ternyata ada klaim kebenaran sepihak yang dilakukan EN. Bahwa standar mengenakan jilbab harus sama seperti dirinya, yakni mengenakan ciput. Hal itu jelas sudah berlebihan bila dipaksakan kepada siswi.
"Nah saya melihat guru ini kan terlalu berlebihan, overacting, seolah standar yang benar, standar yang baik, itu adalah yang seperti dipakai oleh dirinya, padahal itu belum tentu," katanya.
Melihat permasalahan ini, LPA Jatim pun meminta ada langkah tegas menyikapi perbuatan EN. Pertama sekolah atau pihak yang berwenang dalam hal ini ialah Dinas Pendidikan Lamongan, harus memberi persamaan persepsi tentang aturan pasti penggunaan jilbab.
Hal itu agar di kemudian hari tak terjadi lagi perbedaan pandangan tentang cara berseragam termasuk menggunakan jilbab. Selain itu, supaya peristiwa serupa tak terulang lagi.
"Standar seragam itu juga harus ditentukan seperti apa, sehingga kemudian tidak terjadi salah dalam menentukan," tuturnya.
Kedua, LPA Jatim juga meminta EN tak cuma disanksi. Ia juga wajib membayar restitusi kepada siswi yang jadi korban. Sebab perbuatannya itu sudah menyebabkan kerugian materiel dan immateriel.
"Sanksi harus ditegakkan tapi juga perlu ditambah dengan restitusi ganti rugi. Karena rambutnya dipotong, tentu ada semacam beban psikologis, malu dan sebagainya, dan itu bisa cukup lama menunggu sampai rambutmya tumbuh kembali," katanya.
"Menurut saya perlu sebagai efek jera kepada siapapun hal-hal seperti itu juga diikuti tidak hanya dengan sanksi, tapi perlu juga restitusi untuk pemulihan mental dan perawatan hingga rambut tumbuh seperti semula," pungkas Isa.
Sementara itu, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Holy Ichda Wahyuni mengatakan, mendidik dengan kekerasan bukan solusi dalam penanaman pendidikan karakter.
Menurutnya, tokoh bangsa Ki Hajar Dewantara telah menanamkan konsep pendidikan humanis, harapannya agar upaya guru mencerdaskan anak bangsa, membangun keterampilan dan karakter dilakukan dengan cara yang memanusiakan manusia.
"Zaman sudah berganti, banyak pendekatan yang bisa diterapkan untuk mendidik karakter siswa atau anak, apalagi konteksnya anak remaja," kata Holy melalui keterangannya.
Holy menyebut, pendekatan secara kultural, personal, dan dengan penuturan yang bersahabat, tentu akan menghasilkan respons yang lebih positif pula. Sebab, menurutnya remaja membutuhkan figur teman yang membimbing, bukan figur mendikte apalagi dengan paksaan.
"Persoalan kesempurnaan dalam berhijab, seharusnya guru bisa memakai cara lain daripada dengan membotaki rambut yang tentu akan meninggalkan rasa trauma pada anak," tegasnya.
Ia mencontohkan, guru bisa mengajak siswa ke ruangan yang privat, memberikan pengertian tentang hakikat aurat. Guru juga bisa membetulkan rambut siswa agar tidak terlihat, lalu memberi pujian dan apresiasi, hal tersebut akan memberi kesan yang lebih baik.
Sebelumnya, EN, guru di SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur, diduga menggunduli belasan siswi, akibat tak menggunakan dalaman jilbab atau ciput.
Peristiwa itu terjadi saat seorang EN, mengajar siswi kelas IX, Rabu (23/8). Di kelas itu, dia mendapati 14 siswi yang mengenakan jilbab, namun tanpa menggunakan ciput di dalamnya.
Mengetahui hal itu, EN lantas menghukum belasan siswi itu dengan memotong rambut mereka menggunakan mesin cukur. Walhasil kepala para siswi itu jadi botak sebagian.
Aksi yang dilakukan EN pun jadi polemik. Sejumlah wali murid tak terima dan protes anaknya digunduli.
Mediasi pun digelar keesokan harinya, Kamis (24/8), dengan dihadiri Kepala Sekolah Harto, guru berinisial EN dan 10 wali murid yang anaknya jadi korban pembotakan. Mereka sepakat berdamai.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]