WahanaNews.co | Kisah mengenai kota atau daerah yang hancur akibat penduduknya kerap berbuat maksiat seperti kisah di zaman Nabi Luth, ternyata pernah terjadi juga di Indonesia.
Kisah tersebut terjadi di Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Daerah yang hilang akibat bencana tanah longsor yaitu Dusun Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jateng.
Baca Juga:
Dataran Tinggi Dieng Diguncang Gempa Akibat Aktivitas Vulkanik
Masyarakat di sekitar memperoleh cerita mengenai kisah tragis hilangnya Dusun Lagetang secara turun-temurun dari kakek-nenek maupun orangtuanya. Diceritakan Dusun Lagetang tersebut hilang akibat tertimbun longsor secara tiba-tiba yang terjadi pada 16 April 1955.
Kisah tersebut sampai sekarang masih terdengar di masyarakat sekitar. Bahkan, untuk mencari bekas Dusun Legetang yang hilang dalam waktu semalam sangat mudah.
Jika anda dari Wonosobo, perjalanan menuju Dieng berbatasan Wonosobo dengan Banjarnegara hanya ditempuh dalam waktu satu jam, kalau menggunakan sepeda motor dan tidak terjebak kemacetan.
Baca Juga:
PT Geo Dipa Energi Buka Suara Terkait Kebocoran Gas Beracun di Dieng
Untuk menuju ke Dusun Legetang yang hilang pada 1955 tersebut, bisa bertanya dengan tukang ojek yang mangkal di kawasan Dieng, Wonosobo. Mereka mengetahui rute menuju Dusun Legetang, Desa Pekasiran, Kecamatan Batur.
Mantan Kepala Dusun (Kadus) Pesantren, Yahya (60) warga Kasiran RT 04 RW 01, Desa Pekasiran, mengatakan, dulunya warga Dusun Legetang, keadaan ekonominya makmur dari hasil pertanian. Namun, mereka kebanyakan warganya, melakukan perjudian, perselingkuhan dan minim dengan agama.
“Sebelum kejadian itu, warga telah tahu kalau Gunung Pengamun-amun retak, kemudian mereka membuat lubang besar dengan lebar 25 meter dan panjang 50 meter. Harapannya kalau terjadi longsor, masuk di lubang yang dibuat,” ujar Yahya memperoleh cerita dari almarhum ayahnya, Ahmad Yusuf, mantan Kadus, juga.
Dari peristiwa tersebut kata Yahya, hanya satu orang yang selamat. Orang yang selamat tersebut istri tertua dari bau (kepala dusun) Legetang Rana, yang asli Karangtengah.
“Bu Rana, hanyut bersama kursinya,” ujar Yahya, sambil menghisap rokok lintingan klembak menyan sebagaimana kehidupan warga setempat. [rsy]