WahanaNews.co | Sebelumnya, Satgas Khusus Pengawasan Dana Covid-19 Mabes Polri telah mencatat, ada 102 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial atau bansos dalam
penanganan Covid-19 di seluruh Indonesia.
Kasus tersebut tercatat di antaranya Kepolisian
Daerah Sumatera Utara 38 kasus, Kepolisian Daerah Jawa Barat 18 kasus,
Kepolisian Daerah Riau tujuh kasus.
Baca Juga:
Kepala Dinas Pendidikan Depok Pecat 9 Terkait Korupsi Manipulasi Nilai Rapor
Kemudian Polda Jatim dan Polda Sulawesi
Selatan masing-masing empat kasus, Polda Sulawesi Tengah, Polda Nusa Tenggara
Timur, dan Polda Banten menangani masing-masing tiga kasus.
Hal itu berdasarkan hasil penyelidikan
bahwa ada beberapa penyalahgunaan bantuan sosial itu.
Seperti, pemotongan dana oleh perangkat
desa dengan maksud asas keadilan bagi mereka yang tidak menerima.
Baca Juga:
Buntut Manipulasi Nilai Rapor Puluhan Siswa, Kepala SMPN 19 Depok Akhirnya Dipecat
Kasus penyelewengan dana Bansos pun
dilakukan pula oleh Sekretaris Desa (Sekdes) di Desa Cipinang, Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang hingga saat ini masih menjadi buronan polisi.
Hal itu dikarenakan ia menarik setoran
dari dana bantuan sosial (bansos) warga terdampak pandemi Covid-19.
Kapolres Bogor, AKBP Harun, di Cibinong, Bogor, Selasa (16/2/2021), mengatakan bahwa saat didatangi Sekdes tidak ada di tempat, dan pihak kepolisian
masih menelusuri keberadaan Sekdes tersebut.
"Sekdes tidak di tempat, sementara ini tersangka.
Masih telisik, masuk DPO (daftar pencarian orang)," ujar Harun.
Harun menuturkan bahwa Sekdes Cipinang berinisial ES itu menarik setoran dari stafnya berinisial LH, yang
mana juga berstatus sebagai tersangka karena memanipulasi 30 data penerima
bansos.
Ia menyebutkan, LH yang menjabat sebagai
Kasi Pelayanan di Desa Cipinang itu memanipulasi 30 data penerima bansos, sehingga meraup uang senilai Rp 54 juta atau Rp 1,8 juta dari setiap
satu akun penerima bansos.
"Pemerintah memberikan bantuan setiap
bulannya Rp 600.000, dikalikan tiga jadi Rp 1,8 juta per orang," kata Harun.
Mantan penyidik di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) itu juga menyebutkan, LH melakukan aksinya dengan dibantu 15
warga yang masing-masing dibekali dua akun penerima bansos untuk melakukan
pencairan di Kantor Pos Cicangkal, Rumpin, Bogor.
Kemudian, sebanyak 15 warga yang
mencairkan dana bantuan dengan kertas barcode
berisi Nomor Induk Kependudukan (NIK) warga setempat itu masing-masing dibayar
oleh LH Rp 250 ribu.
"Sementara 15 figuran ini masih berstatus
saksi, masih kita dalami. Kalau bukti cukup akan kita tersangkakan," kata
Harun.
Sementara itu, tersangka penggelapan dana
bantuan sosial (bansos) pandemi Covid-19, berinisial LH yang merupakan staf di Desa Cipinang, Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terancam hukuman
maksimal lima tahun penjara.
"Dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta," ujar
Harun.
Menurutnya, hukuman yang terancam menjerat
LH itu tertuang dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia (RI) Nomor 13 Tahun
2011 tentang penanganan fakir miskin. Pasalnya, tersangka menjabat sebagai Kasi
Pelayanan di Desa.
Pemerintah telah menganggarkan sebanyak
1,8 juta keluarga di Jabodetabek yang terdampak Covid-19 mendapatkan bantuan
sosial sembako senilai Rp 600 ribu selama tiga bulan. Sejak April hingga Juni, yang didistribusikan
dua kali setiap bulan.
Namun, bansos sembako berlanjut hingga
Desember 2020, dengan nilai bantuan menjadi Rp 300.000 setiap bulan. [dhn]