WahanaNews.co, Maluku Tenggara - Bupati Maluku Tenggara, M Thaher Hanubun, memberikan mahar Rp 1 miliar pada seorang gadis di wilayahnya. Gadis tersebut adalah korban pemerkosaan yang diduga dilakukan Thaher Hanubun.
Korban, yang berusia 21 tahun, telah melaporkan Thaher Hanubun ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Maluku pada Jumat, (1/9/2023).
Baca Juga:
Gempa Berkekuatan Magnitudo 5,6 Kini Menggoyang Maluku Tenggara
Belakangan Thaher Hanubun dikabarkan telah menikahi korban tersebut. Informasi ini disampaikan oleh pendamping korban, Othe Patty.
"Ya, pernikahan berlangsung pada hari Jumat yang lalu," kata Othe seperti, melansir TribunAmbon.com.
Othe juga menyebutkan bahwa mahar yang diberikan sangat besar, yakni sebesar Rp 1 miliar. Mahar tersebut diserahkan langsung oleh kontraktor Bupati ke Jakarta.
Baca Juga:
Komnas HAM Maluku Minta Bentrokan Antara 2 Desa Segera Diselesaikan
Pernikahan siri ini dilangsungkan di Kota Tual, Maluku, dengan paman korban menjadi wali pernikahan. Korban sendiri tidak berada di lokasi pernikahan karena berada di Jakarta.
Menurut Othe, pernikahan itu menegaskan bahwa orangtua pelapor telah mengikhlaskan anaknya dinikahi, meski sempat melaporkan bupati atas tindak pidana.
Othe meyakini, korban dipaksa untuk menerima lamaran dari Thaher.
Meski begitu, ia masih akan mengawal kasus ini.
"Kami akan kawal terus kasus ini," tandasnya.
Sebagai info, kabar pernikahan ini mulai beredar setelah pelapor menarik laporannya dari Polda Maluku.
Kabid Humas Polda Maluku, Roem Ohoirat mengatakan, pihaknya telah menerima surat penarikan laporan pada Rabu (6/9/2023), kurang dari sepekan setelah laporan dilayangkan pada Jumat (1/9/2023).
"Hari Rabu (5/9/2023) penyidik menerima surat dari pelapor yang isinya pelapor menarik kembali laporannya dan tidak menghendaki proses lebih lanjut dengan alasan menerima kenyataan ini sebagai musibah dan ingin ketenangan," katanya.
Meski laporan dicabut, pihak kepolisian tetap melanjutkan proses hukum karena TPKS tak bisa diselesaikan di luar pengadilan.
Namun, Roem mengaku, pihaknya banyak mengalami kendala dari pelapor.
"Sejak kasus ini dilaporkan, setiap hari penyidik mendatangi kediaman pelapor untuk melakukan pendampingan, namun pernah ditolak oleh orang tua pelapor dengan alasan pelapor ingin ketenangan," katanya.
"Hari Sabtu (9/9/2023) penyidik mendatangi kediaman pelapor, namun pelapor dan orang tua pelapor sudah tidak ada, keterangan dari salah satu keluarga yang menjaga rumah tersebut bahwa pelapor dan kedua orang tuanya sudah ke Jawa," tandasnya.
Sementara itu, kabar pernikahan tersebut pun mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Satu di antaranya komunitas pemerhati perempuan, Ina Mollucas Watch (IMW).
Pihak IMW mengaku geram terkait kabar Thaher Hanubun menikahi korban pelecehan seksual.
Baca juga: Mengenal Sosok Rindy Yanti, Guru Cantik Yang Diajak Nikah Muridnya Pilih Keluar Sekolah Karena Risih
Ketua Bidang Advokasi IMW, Hijrah mengatakan, jika kabar pernikahan tersebut benar, maka publik akan merasa kinerja polisi gagal dalam memberikan perlindungan kepada korban.
Padahal, perlindungan korban kekerasan seksual sudah tertulis dalam Pasal 42 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Informasi ini harus segera diklarifikasi kebenarannya oleh pihak Polda Maluku. Dimmana saat ini keberadaan korban? Apakah benar korban berada dibawah kendali orang-orang yang punya keterkaitan dengan terduga pelaku? Apakah ada tindakan-tindakan yang menghambat proses hukum?" kata Hijrah.
Pihaknya juga mempertanyakan kinerja Kapolda Maluku dalam menegakkan UU TPKS dari sisi perlindungan korban.
“Apakah ada main mata dan membiarkan korban dibawah kendali pihak lain?” tanya Hijrah.
Ia menambahkan, jika kepolisian tidak mampu melindungi korban, maka pihak kepolisian wajib mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Sehingga disini kami sedang mengukur kualitas penanganan institusi Polda Maluku dalam menyelidiki kasus ini sesuai ketentuan pasal-pasal yang ada, apakah polisi sebagai penegak hukum takluk dan tunduk ketika menghadapi posisi terduga pelaku yang memiliki jaringan kekuatan dan kekuasaan? Ini harus segera terjawab," tandasnya.
Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan mengatakan, cara pelaku menikahi korban merupakan modus untuk melarikan diri dari tanggung jawab secara hukum.
"Modus kawin atau pernikahan seringkali ditemukan sebagai cara terlapor melarikan diri dari tanggung jawab secara hukum," ungkapnya.
Dalam UU TPSK (Undang-Undang Tentang Penghapusan Perkawinan Anak) Pasal 10, secara jelas menyatakan bahwa tindakan ini dapat dianggap sebagai bentuk pemaksaan perkawinan.
Dia juga menambahkan bahwa jika pihak kepolisian tidak menemukan bukti yang kuat untuk menghindari proses hukum, maka mereka dapat menggunakan pasal mengenai pemaksaan perkawinan.
“UU TPSK memiliki pasal yang mengatur pemaksaan perkawinan. Jika terdapat indikasi pemaksaan, kepolisian dapat menggunakan pasal tersebut. Terutama karena pemaksaan perkawinan bukan merupakan delik aduan,” lanjutnya.
Pihaknya juga mendorong agar pihak kepolisian melakukan pemeriksaan yang komprehensif dan mempertimbangkan kemungkinan adanya pemaksaan dalam perkawinan.
“Kami mendorong agar kepolisian melakukan penyelidikan awal dan mempertimbangkan kemungkinan adanya pemaksaan dalam perkawinan. Jika ada indikasi, maka hal tersebut harus diperiksa lebih lanjut,” tandasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]