WahanaNews.co | Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, menyebutkan tarif tiket dari luar negeri ke Bali masih terlalu tinggi.
Tjokorda yang akrab disapa Cok Ace menyebutkan pemprov Bali memerlukan subsidi silang dari pemerintah pusat sehingga harga tiket pesawat dari luar negeri ke Pulau Dewata bisa lebih wajar.
Baca Juga:
Irfan Setiaputra Pastikan Garuda Tetap Beroperasi Selama Angkutan Haji 1445H/2024M
"Sekarang harga tiket pesawat dari Australia ke Bali lebih mahal dibandingkan dari Australia ke Thailand," kata Cok Ace itu di Denpasar, Kamis (11/8/2022).
Menurut dia, dalam forum diskusi bertajuk Recover (Bali) Together: Menanti Solusi Kelangsungan dan Pemulihan Usaha itu, mahalnya harga tiket pesawat ke Bali turut menjadi tantangan untuk pemulihan pariwisata Bali.
"Itu (harga tiket pesawat-red) kebijakannya di pusat. Oleh karena itu, kami mohon pada pusat. Kenapa kalau penerbangan ke daerah lain bisa disubsidi silang oleh negaranya, kenapa Indonesia tidak?," ucap pria yang juga Ketua PHRI Bali itu.
Baca Juga:
Rencana Pemerintah: Iuran Pariwisata dihitung dalam Harga Tiket Pesawat
Terkait persoalan mahalnya harga tiket pesawat ke Bali, Cok Ace mengatakan pemerintah provinsi setempat sudah berusaha untuk memberikan masukan ke pemerintah pusat supaya harga tiket pesawat ke Bali bisa lebih wajar.
"Tiket yang mahal ini bagi wisatawan, kami bekerja keras untuk memperbaiki destinasi dan memberikan pelayanan yang terbaik, namun kembali lagi pada permodalan pengusaha," ujarnya.
Oleh karena dampak pandemi Covid-19, pengusaha pariwisata Bali saat ini dihadapkan pada persoalan biaya operasional, SDM, hingga kewajiban untuk membayar hutang.
Ia mengemukakan, meskipun hotel-hotel sudah beroperasi, tetapi sejatinya kamar yang siap "dijual" itu kisaran 40-60 persen dari total kamar yang dimiliki karena kerusakan sarana prasarananya akibat vakum selama dua tahun.
Selain itu, pelaku pariwisata di Bali tidak mudah juga untuk mendidik tenaga kerja profesional, karena tidak sedikit SDM pariwisata Bali yang profesional beralih bekerja di kapal pesiar.
"Jika soft loan (pinjaman lunak) dikasi, andaikata hutang (relaksasi restrukturisasi kredit-red) ditunda hingga 2025, apakah selesai persoalannya? Tentu belum," kata Penglingsir (tokoh) Puri Ubud itu.
Ia pun memprediksi kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali hingga akhir 2022 masih di bawah 2 juta orang.
Jumlah tersebut terpaut jauh dengan kunjungan wisman sebelum pandemi sebanyak 6,3 juta jiwa.
Oleh karena itu, melalui forum diskusi itu Cok Ace mengharapkan ada rekomendasi yang berguna bagi semua kalangan dan rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah.
Dalam acara tersebut menghadirkan sejumlah narasumber yakni Gede Agus Maha Usadha (Wakil Ketua Umum KADIN Bali Bidang Pariwisata dan Investment), Putu Subada Kusuma (Wakil Ketua Bidang Legal PHRI Bali), dan I Ketut Wiratjana (Ketua DPD Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia).
Narasumber berikutnya Ryanto Piter (akuntan publik dari Joachim Adhi Piter Poltak dan Rekan) dan Yudhi Wibhisana (advokat, kurator, dan pengurus Wibhisana & Partner).
Acara diskusi dipandu Raja Basa AN Harefa (advokat dan managing partner dari The Calixto).
Sementara itu, Agus Maha Usadha, salah satu narasumber mengatakan perlu peran pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang sudah ada, agar pertumbuhan ekonomi Bali bisa mengikuti daerah lain di Tanah Air.
"Bali yang sebelum pandemi pertumbuhan ekonominya peringkat dua tertinggi, kini berada di posisi 31," ucap Agus.
Selain itu, Bali perlu dibantu secara regulasi, untuk bisa menyeimbangkan kebijakan pembiayaan yang diberikan oleh perbankan.
Ketua Umum Kadin Bali Made Ariandi berharap relaksasi restrukturisasi kredit penyelesaiannya bisa lebih profesional dan bersahabat.
"Kami terus berupaya untuk turut menjaga ekonomi Bali lebih stabil dan melalui talkshow ini dapat dicari solusi terbaik," ujar Ariandi. [rin]