KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada Eks Dirut Ira Puspadewi dan dua mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) pada Selasa (25/11/2025) adalah langkah yang visioner dan berani.
Keputusan ini jadi penegasan prinsip krusial dalam dunia usaha BUMN: Risiko bisnis yang diambil dengan itikad baik bukanlah perbuatan kriminal.
Baca Juga:
Kasus Akuisisi PT JN, Ira Puspadewi Minta Perlindungan Presiden Usai Divonis 4,5 Tahun
Rehabilitasi ini menjadi momen penting untuk merespons kegelisahan atau chilling effect yang selama ini menghantui para profesional di BUMN, yakni ketakutan untuk mengambil keputusan berisiko demi kemajuan perusahaan.
Menciptakan Nilai di Tengah Ketidakpastian
Dalam filsafat manajemen, risiko bukanlah semata-mata ancaman yang harus dihindari (risk avoidance), melainkan bagian integral dari pengambilan keputusan strategis untuk menciptakan nilai (value creation).
Baca Juga:
Tak Terima Dituduh Rugikan Negara Rp1,2 T, Mantan Dirut ASDP: Tak Ada Bukti Korupsi
Seperti ditegaskan dalam filosofi manajemen risiko modern -- misalnya, dalam standar ISO --, tujuan manajemen risiko adalah menciptakan dan melindungi nilai, yang dicapai melalui inovasi dan pengambilan keputusan berbasis data di tengah ketidakpastian.
Seorang pemimpin bisnis harus mampu mengidentifikasi, mengelola, dan bahkan mengeksploitasi risiko (risk exploitation) yang berpotensi memberikan imbal hasil tinggi (expected return).
Dalam konteks akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN), keputusan Direksi ASDP harus dinilai secara ex ante—berdasarkan kondisi, informasi, dan analisis yang tersedia sebelum keputusan diambil. Kerugian yang muncul post factum (setelah kejadian) akibat dinamika pasar atau kesalahan estimasi tidak boleh serta-merta diartikan sebagai niat jahat (mens rea) merugikan negara.
Business Judgment Rule
Prinsip Business Judgment Rule (BJR), yang diakui dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Pasal 97 ayat (5), adalah benteng perlindungan bagi direksi.
Intinya, direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang terjadi jika keputusan diambil dengan itikad baik dan kehati-hatian, idak ada konflik kepentingan, dan didukung oleh informasi dan analisis yang memadai (due diligence).
Fakta adanya dissenting opinion dari Hakim Ketua Sunoto yang secara eksplisit menyatakan bahwa akuisisi PT JN merupakan keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik dan tidak ditemukan mens rea (niat jahat) merugikan keuangan negara, menjadi indikasi kuat bahwa perkara ini seharusnya berada di ranah perdata, administrasi, atau perbaikan tata kelola, bukan pidana.
Seperti ditegaskan oleh Pakar Hukum Pidana Fachrizal Afandi, tanpa bukti kuat manipulasi atau niat jahat, keputusan bisnis yang berakhir merugi adalah risiko, bukan tindak pidana korupsi.
Jika setiap kerugian berujung kriminalisasi, para direksi BUMN akan mengalami kelumpuhan mental (chilling effect), takut mengambil langkah strategis, dan pada akhirnya, memperlambat gerak BUMN sebagai agen pembangunan.
Pelajaran dari Kriminalisasi BUMN
Kasus Ira Puspadewi bukanlah yang pertama kali menimbulkan polemik kriminalisasi keputusan bisnis di BUMN.
Kasus investasi di Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia, sempat menyeret Karen Agustiawan ke jeruji besi meskipun proses audit BPK justru tidak menemukan adanya kerugian negara.
Mahkamah Agung pada akhirnya mengeluarkan Putusan Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 yang menegaskan kaidah hukum terkait BJR, menyatakan kerugian akibat pelaksanaan BJR bukanlah tindak pidana sepanjang tidak terdapat kecurangan, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang disengaja.
Putusan ini merupakan landmark decision yang semestinya menjadi rujukan utama.
Lalu kasus proyek Distinct Job Manual (DJM) di PT Telkom Indonesia juga menunjukkan adanya kriminalisasi terhadap konsultan swasta Alex Denni yang dinilai melanggar BJR, meskipun keputusan bisnisnya telah didukung oleh direksi BUMN yang pada akhirnya dibebaskan.
Kasus-kasus ini, termasuk kasus Ira Puspadewi, menunjukkan adanya disparitas dan ketidakpastian hukum dalam menilai risiko bisnis BUMN.
Rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden Prabowo, setelah meminta pertimbangan Mahkamah Agung, berfungsi sebagai intervensi kenegaraan untuk memulihkan keseimbangan antara penegakan hukum dan dorongan inovasi.
Sinyal untuk Para Profesional BUMN
Pemberian rehabilitasi kepada Ira Puspadewi adalah sinyal yang jelas dari pemerintah kepada seluruh profesional BUMN: Berani mengambil risiko bisnis yang terukur dan beritikad baik, demi kemajuan perusahaan dan negara, tidak akan dikriminalisasi.
Ini bukan berarti korupsi harus ditoleransi. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk memperkuat penerapan Business Judgment Rule secara konsisten, membedakan secara tegas antara kerugian yang timbul dari niat jahat (mens rea) atau manipulasi, dengan kerugian yang merupakan konsekuensi alami dari keputusan bisnis berisiko yang diambil berdasarkan analisis dan informasi terbaik pada saat itu (ex ante).
In dubio pro reo. Dalam keraguan, putusan tidak bersalah adalah yang utama. Prinsip hukum ini, yang seharusnya menjadi landasan utama, kini diperkuat dengan satu penegasan krusial: risiko yang beritikad baik adalah non est crimen (bukan kejahatan).
*) Penulis, Wakil Pemimpin Redaksi WahanaNews.co