TAHUN 2025 menghadirkan paradoks dalam perlindungan konsumen Indonesia. Di satu sisi, tingkat kesadaran publik menunjukkan kemajuan signifikan. Di sisi lain, rasa keadilan konsumen belum sepenuhnya terjawab.
Data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Kementerian Perdagangan seolah berbicara serempak: konsumen Indonesia semakin cerdas, tetapi sistem belum sepenuhnya berpihak.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dorong Penggunaan Energi Terbarukan di Kota-kota Besar Demi Kesehatan Konsumen dan Lingkungan
Kenaikan Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) 2025 ke level 63,44 menempatkan konsumen Indonesia pada kategori “kritis”. Konsumen semakin terbiasa melakukan pengecekan sebelum membeli, memahami kewajiban pelaku usaha, serta lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Ini adalah capaian penting yang tidak boleh diremehkan. Namun, justru di titik inilah persoalan mendasar muncul: kritis tidak selalu berarti berdaya.
Keberdayaan sejati tidak hanya diukur dari kemampuan memahami informasi, tetapi dari sejauh mana konsumen mampu memperoleh keadilan ketika haknya dilanggar.
Baca Juga:
Sambut Nataru, PLN dan Mitra Siapkan 4.514 SPKLU di 2.862 Titik serta 69.000 Personel di 3.392 Posko Nasional, ALPERKLINAS: Mobil Listrik Aman Dibawa Mudik
Dalam praktiknya, jurang antara literasi dan keadilan masih lebar. Banyak konsumen mengetahui bahwa mereka dirugikan, tetapi tidak tahu atau tidak sanggup menempuh jalur penyelesaian yang efektif, cepat, dan berpihak.
Catatan Akhir Tahun 2025 BPKN memperlihatkan fakta yang menguatkan kegelisahan ini. Sepanjang 2023–2025, tercatat 3.582 pengaduan konsumen, dengan dominasi sektor jasa keuangan, e-commerce, perumahan, dan pariwisata.
Yang menarik, pengaduan tersebut tidak lagi berkutat pada cacat produk semata, melainkan pada praktik sistemik: biaya tersembunyi, manipulasi informasi, dark patterns di platform digital, serta lemahnya mekanisme ganti rugi.
Artinya, konsumen hari ini sering kali tidak kalah karena kurang pengetahuan, melainkan karena berhadapan dengan sistem pasar yang tidak dirancang untuk adil. Dalam ekonomi digital, ketimpangan informasi berubah menjadi ketimpangan kekuasaan.
Algoritma, syarat dan ketentuan yang rumit, serta mekanisme pengaduan yang berlapis membuat posisi konsumen tetap rentan, bahkan ketika mereka sudah kritis.
Di sinilah perlindungan konsumen diuji sebagai kebijakan publik. Literasi yang terus didorong tanpa diiringi pembenahan struktural justru berpotensi melahirkan kelelahan sosial.
Konsumen tahu haknya, berani mengeluh, tetapi berulang kali menemui jalan buntu. Keadilan yang lambat atau tidak pasti pada akhirnya sama dengan ketidakadilan itu sendiri.
Pernyataan Ketua BPKN RI bahwa meningkatnya pengaduan merupakan sinyal positif sekaligus peringatan patut dibaca secara mendalam. Secara faktual, ini bukan peringatan akan maraknya pelanggaran semata, melainkan peringatan bahwa ekspektasi publik terhadap negara semakin tinggi. Konsumen tidak lagi puas dengan imbauan kehati-hatian; mereka menuntut kehadiran negara yang lebih konkret dan efektif.
Langkah-langkah strategis BPKN sepanjang 2025, mulai dari penguatan analisis pengaduan, advokasi kasus prioritas, hingga rekomendasi kebijakan langsung kepada Presiden, menunjukkan arah yang tepat.
Namun, tantangan yang diakui BPKN sendiri menegaskan bahwa kerja besar masih menanti: regulasi yang belum adaptif, penegakan hukum yang belum konsisten, transaksi lintas negara yang sulit dijangkau, serta belum terintegrasinya sistem pengaduan nasional.
Tanpa pembenahan komprehensif, konsumen kritis akan tetap berada di ruang abu-abu: sadar hak, tetapi belum sepenuhnya terlindungi. Karena itu, Agenda Strategis 2026 -- termasuk percepatan RUU Perlindungan Konsumen, penguatan kelembagaan BPKN, dan pengawasan praktik digital -- harus dipandang sebagai fondasi keadilan pasar, bukan sekadar agenda administratif.
Sejatinya, perlindungan konsumen erat relevansinya dengan arah pembangunan. Pasar yang adil tidak lahir dari konsumen yang waspada semata, melainkan dari sistem yang memastikan hak dapat ditegakkan tanpa beban berlebihan. Ketika konsumen berdaya, kepercayaan publik tumbuh, pelaku usaha terdorong berintegritas, dan ekonomi nasional bergerak lebih sehat.
Refleksi tahun 2025 seharusnya membawa Indonesia melangkah lebih jauh: dari meningkatkan literasi menuju memastikan keadilan. Karena dalam ekonomi modern, kemajuan sejati bukan hanya soal transaksi yang cepat, tetapi tentang hak yang benar-benar dihormati.
Pada akhirnya, perlindungan konsumen adalah soal keadilan, dan bukan semata literasi. Sebab pengetahuan tanpa jaminan keadilan hanya akan melahirkan kekecewaan publik. Dalam hukum dikenal adagium Latin: Ubi ius ibi remedium, di mana ada hak, di situ harus tersedia pemulihan. Tanpa mekanisme pemulihan yang pasti, hak konsumen hanya menjadi slogan, bukan perlindungan yang nyata. [*]
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi WAHANANEWS.CO