WahanaNews.co | Impian Putri Atmawan Pujaningsih (18) sejak dari bangku SMP untuk bisa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) kini tercapai.
Modal selalu giat belajar dan berprestasi di kelas, ia dapat mewujudkan impiannya tersebut.
“Sejak dulu sudah pengin kuliah di UGM. Kampus terfavorit dan peminatnya banyak. Siapa juga yang tidak mau kuliah di kampus terbaik di Indonesia?” ujar Putri dikutip dari laman ugm.ac.id, Senin (24/7/2023).
Namun, Putri mafhum dengan kondisi keluarganya. Ia tidak pernah meminta banyak akan keinginan dan keperluannya selama menginjak bangku sekolah.
Baca Juga:
Soal Wamenkumham Eddy Hiariej Jadi Tersangka KPK UGM Buka Suara
Ayahnya, Kiswanto (53 tahun), dan ibunya, Hadiatullah (50), hanya bekerja sebagai petani jagung di lahan HGU milik perusahaan seluas kurang dari 1 hektare di Desa Tambaksari, Pototano, Sumbawa barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Penghasilannya juga tidak seberapa.
Putri sempat khawatir ketika mendaftar kuliah di UGM. Salah satunya, karena alasan biaya.
“Sempat sedikit ragu takut enggak lolos beasiswa (KIP), takutnya enggak bisa biayain karena ada kakak saya yang masih kuliah. Bapak pesan kalau tidak lolos di negeri (PTN) tidak bisa lanjut kuliah dulu. Saya tetap berani daftar lewat jalur SNBP. Saya rajin salat dan berdoa agar bisa lolos,” jelas Putri.
Setiap pagi, ia diantar oleh ayahnya ke sekolah SMAN 1 Poto Tano. Ia banyak ikut kegiatan di sekolah mulai dari OSIS, Pramuka, dan Pasukan Baris Berbaris. Dalam kegiatan akademik, Putri selalu mendapat langganan juara satu di kelas.
“Selama di SMA selalu juara satu. Kalau ada PR saya serahkan paling duluan,” kata dia.
Sepulang sekolah, Putri mengaku sering banyak belajar di kamar. Bahkan, saat diminta ibunya untuk menggembala kambing yang dilepas di sekitar, ia tidak segan-segan membawa buku atau belajar menggunakan internet di ponselnya.
Putri menyebut menjadi pengembala kambing atau sapi sudah menjadi kegiatan tambahan bagi penduduk Tambaksari yang hanya mengandalkan pertanian tadah hujan.
“Jika tidak bertani, ya gembala sapi dan gembala kambing di sini,” beber dia.
Masih terbayang di benak Putri saat menanti kabar kepastian lolos masuk UGM lewat ponselnya. Dia hanya bisa berdiam diri di kamar seraya menangis haru sampai-sampai sang ibu datang bertanya.
“Kenapa nangis? Lolos Bu. Lalu ibu ikut nangis juga. Tidak lama, Bapak pulang sehabis gembala kambing. Bapak aku lolos masuk UGM. Saya peluk Bapak di teras rumah, Alhamdulillah Nak kamu bisa lolos,” kenang Putri.
Putri juga merupakan salah satu mahasiswa baru UGM yang diterima lolos kuliah gratis dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Pendidikan Unggul bersubsidi 100% (UKT 0). Hal ini tentu disyukuri Putri karena bisa membantu beban ekonomi keluarganya.
Siang itu, Putri membantu ayah ibunya mengupas jagung hasil panen. Dibantu sekitar empat ibu-ibu yang merupakan tetangga dekat rumah, mereka melepas jagung dari bonggolnya di bawah pondok terpal biru yang ditopang dengan satu bambu untuk melindungi dari panasnya terik matahari.
“Tahun ini panennya agak kurang,” ujar Hadia.
Panen jagung rata-rata hanya satu kali setahun. Ibu dari tiga anak ini menjelaskan jika cuaca bagus dan musim hujan mendukung, ia bisa turun nanam hingga dua kali satahun.
Rata-rata sekali panen ia mendapat panen sekitar 5-6 ton per hektare. Sekali panen, ia mengantongi uang sekitar Rp10-12 juta.
“Uang hasil panen tergantung harga, bisa bawa pulang Rp12 juta dibagi buat bayar buruh, bayar hutang karena kita sudah ambil duluan utang beli bibit dan pupuk,” cerita dia.
Selain mengurusi kebun jagung, ia bersama sang suami menggembala kambing milik tetangga karena musim tanam jagung tidak menentu.
Baca Juga:
Mahasiswa SV UGM Kembangkan Komposter Pupuk Cair Otomatis Bersumber Energi Matahari
“Dulu pelihara dua, lima tahun jadi lima ekor. Sekarang sudah puluhan ekor. Bagi dua dengan pemilik. Jika ada kebutuhan mendesak kita izin jual ke pemiliknya,” beber dia.
Tidak jarang, ia meminta sang anak, Putri, untuk menjaga kambing sepulang sekolah sebelum bapaknya pulang kerja sebagai pegawai tidak tetap pendamping penyuluh pertanian.
“Kadang saya suruh nunggu di bawah pohon asam sambil belajar,” kenang dia.
Penghasilan dari bertani jagung memang tidak menentu, namun mereka tetap bersyukur apalagi ada tambahan honor dari suaminya sebagai pegawai tidak tetap di kantor dinas pertanian Sumbawa Barat.
Kiswanto bercerita ia sudah menjadi tenaga pegawai tidak tetap sejak 2008 setelah tidak lagi menjadi karyawan di perusahaan tambak udang di dekat pelabuhan Poto Tano.
Awal bekerja, honor Rp400 ribu lalu naik Rp700 ribu tiga tahun kemudian. Selanjutnya, empat tahun setelahnya naik sekitar Rp1 jutaan.
“Kalau dibilang cukup atau tidak cukup, manusia itu merasa tidak pernah cukup. Tapi jika bicara sisi agama kita harus pandai mensyukuri saja,” tutur dia.
Meski kondisi ekonomi pas-pasan, Kiswanto dan Hadia, selalu memotivasi ketiga putrinya melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.