WahanaNews.co, Jakarta - Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pemuda yang tidak terlibat dalam pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan (NEET) pada tahun 2023 mencapai hampir 10 juta.
Kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan angka pengangguran di kalangan anak muda ini.
Baca Juga:
Aldy Anzary Hutabarat Sesalkan Kericuhan Jelang Pilkada Subulussalam 2024
Maliki, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengakui bahwa biaya pendidikan merupakan salah satu hambatan yang perlu diatasi untuk mengurangi masalah NEET.
Menurutnya, biaya kuliah yang tinggi bisa membuat banyak lulusan SMA memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
"Memang, biaya kuliah yang tinggi menjadi salah satu tantangan, yang membuat banyak lulusan SMA tidak mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang kuliah," ujar Maliki, melansir CNBC Indonesia, Selasa (21/5/2024).
Baca Juga:
Gen Z dan Milenial Jadi Penyebab Utama Kredit Macet Pinjol, OJK Beri Peringatan Khusus
Sebelumnya, laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) telah menggambarkan jumlah yang signifikan dari pemuda di Indonesia yang tidak terlibat dalam pendidikan atau pekerjaan.
Pada tahun 2023, sekitar 9,9 juta pemuda (berusia 15-24 tahun) tergolong sebagai NEET. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,73 juta adalah perempuan muda dan 4,17 juta adalah laki-laki muda.
Mayoritas dari mereka adalah anggota Generasi Z yang seharusnya sedang aktif di pasar kerja. Generasi Z lahir antara tahun 1997 hingga 2012 dan saat ini berusia antara 12 hingga 27 tahun.
Persentase pemuda berusia 15-24 tahun yang merupakan NEET di Indonesia mencapai 22,25% dari total populasi mereka secara nasional.
Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan dengan fakta ini terungkap, mahasiswa di beberapa perguruan tinggi negeri sedang menghadapi ketegangan akibat keputusan pemerintah untuk menaikkan biaya UKT. Kenaikan ini menimbulkan gelombang protes yang dilakukan oleh para mahasiswa.
Dalam menanggapi protes ini, Abdul Haris, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), menyatakan bahwa biaya kuliah di perguruan tinggi negeri, meskipun tinggi, masih lebih terjangkau dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta (PTS).
Maliki mengatakan meski biaya pendidikan cukup penting, namun ada faktor lain yang juga harus ditekankan untuk mengatasi pengangguran di anak muda. Dia bilang faktor itu adalah motivasi diri yang lebih penting.
Maliki berkata anak-anak muda diharapkan sudah mengetahui tujuan hidupnya ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja.
Misalnya ketika seseorang menempuh pendidikan vokasi, dia mengatakan orang tersebut harus sudah tahu bahwa mereka ingin langsung bekerja.
Maliki beranggapan biaya pendidikan murah akan percuma, apabila para peserta didik masih linglung dengan apa yang mereka sebenarnya inginkan. Dia khawatir nantinya mereka hanya ikut-ikutan tren untuk masuk ke perguruan tinggi.
"Akhirnya keahlian yang dimiliki tidak optimal dan akhirnya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan dunia kerja," kata dia.
Di samping itu banyak anak muda Gen Z menjadi pengangguran karena lelah lamaran kerjanya terus ditolak. "Kalau dia sudah menjadi NEET selama 1 tahun atau 3 tahun akhirnya memang akan men-discourage keinginannya mencari pekerjaan," paparnya.
Maliki menuturkan rentetan penolak yang diterima oleh anak muda tersebut membuat mereka putus asa. Para anak muda ini, kata dia, menjadi tidak percaya diri untuk lanjut melamar kerja.
"Karena dia pikir ya udahlah, saya juga susah mendapatkan pekerjaan, mana ada perusahaan yang mau menerima," kata Maliki.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]