WahanaNews.co | Selain dikenal enak, makanan Sunda, nama-namanya juga unik dan mudah diingat.
Saking uniknya, banyak makanan Sunda yang namanya menjadi nama nasional seperti batagor, cireng, dan lain sebagainya.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
Lalu, mengapa nama makanan Sunda itu unik? Berikut ini jawaban dari akademisi.
Nama-nama makanan Sunda yang unik ternyata menarik perhatian Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjdajaran (Unpad) Elvi Citraresmana.
Bersama dengan tim yang terdiri dari dua orang dosen dan dua mahasiswa Pascasajarna FIB, Elvi pun meneliti tentang 'Tata Nama Kuliner Sunda Sebagai Kearifan Lokal dalam Perspektif Cognitive Onomastics'.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
Dikutip dari Kanal Media Unpad, penelitian yang dilatarbelakangi keadaan pandemi Covid-19 yang sangat berdampak pada kondisi UMKM, khususnya di Jawa Barat, ini menemukan, di balik nama yang unik dan aneh, tetap ada suatu sistem yang ditemukan pada tatanan nama-nama makanan Sunda.
Saat menjadi pembicara dalam acara “Hardtalk” di kanal YouTube Unpad, Selasa (7/2/2023), Elvi menjelaskan, pada penelitian sebelumnya membahas bahwa makanan Sunda banyak yang menggunakan akronim. Dalam penelitian yang Elvi lakukan, nama makanan Sunda tidak hanya terdiri dari akronim.
“Ada juga nama-nama makanan Sunda yang memiliki bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya jauh lebih mudah diingat oleh orang lain,” kata Elvi.
Penelitian tersebut dilakukan di tiga kota di Jawa Barat, yaitu: Bandung, Garut, dan Sukabumi.
Beberapa kategori yang ditemukan dari penelitian ini adalah kategori nama makanan jajanan pasar, makanan populer, makanan basah, dan makanan tradisional.
Khusus kategori makanan tradisional, Elvi dan tim belum bisa menganalisis karena dibutuhkan pemahaman mendalam seperti sejarahnya.
Dari tiga kota ini, ditemukan banyak nama makanan unik, salah satunya makanan yang terbuat dari bahan dasar aci atau tepung kanji.
“Contohnya, Ada makanan yang diberi nama dari cara memakannya seperti ‘citruk’. ‘Citruk’ yang artinya ‘aci ngagetruk’ menghasilkan bunyi ‘getruk’ saat digigit karena teksturnya yang keras. Hal ini menjelaskan bahwa hanya dari nama saja bisa menentukan konsumen dan konsumen juga bisa memilih produk yang akan dibeli,” paparnya.
Elvi juga menjelaskan kalau orang Sunda suka memberikan nama makanan dengan cara diulang-ulang atau reduplikasi.
Contohnya, makanan “bala-bala” diambil dari kata bala yang dalam bahasa Sunda artinya tidak bersih atau tidak rapi.
Nama ini disematkan karena isi dari bala-bala adalah berbagai macam sayuran yang dicampur tepung dan dibentuk secara asal.
Selain itu, nama makanan yang direduplikasi banyak yang mengambil verba atau kata kerja. Salah satunya adalah “gado-gado” yang diambil dari kata digado atau dimakan tanpa nasi.
Ada pula reduplikasi yang terdapat pada awal silabel seperti “rarauwan”.
Rarawuan diambil dari kata dirawu yang artinya diambil segenggam. Elvi melanjutkan, ada pula nama makanan yang cukup unik, yaitu “goréjag’.
Kata ini merupakan singkatan dari goreng jagung. Goréjag juga adalah sinonim dari ngoréjat yang dalam bahasa Sunda artinya terkejut.
“Artinya saya melihat bahwa orang Sunda ini kreatif. Kreatif, unik, tapi tidak meninggalkan akarnya. Orang Sunda juga dikenal humoris, jadi nama-namanya juga tidak terlalu serius, tapi justru ini yang diingat,” jelasnya.
Menurut Elvi, ada nilai-nilai lokal yang penting untuk diangkat pada makanan tradisional Sunda.
Jika penelitian ini bisa dilanjutkan ke linguistic landscape, diharapkan hasil dari penelitiannya bisa menjadi dokumentasi tata nama makanan Sunda.
Karena jika ingin tetap menjaga kelestarian budaya lokal melalui makanan, maka hal ini perlu didokumentasikan agar tidak mudah untuk diklaim oleh pihak lain.
“Harapannya sih kita jangan melupakan dari mana kita berasal. Ada peribahasa mengatakan you are what you eat,” kata Elvi.
Elvi pun menekankan jika kuliner Sunda tidak kalah enak dengan jenis kuliner lainnya.
Hal ini seyogianya menyadarkan masyarakatnya untuk terus mempromosikan kuliner Sunda yang pasarnya bisa untuk semua kalangan. [Tio/okezone]