WahanaNews.co | Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, merilis hasil survei pilihan politik dari kelompok milenial.
Survei dilakukan dengan mengumpulkan opini politik dalam jangka waktu dua bulan, yakni 24 Juni-7 Agustus 2023.
Responden terdiri dari 719 mahasiswa dari 31 perguruan tinggi di seluruh provinsi Indonesia yakni laki-laki sebanyak 61 persen dan 39 persen perempuan.
Untuk usianya sendiri, karena ini mahasiswa maka berada dalam rentang usia 18-25 tahun.
Baca Juga:
Menko Yusril: Syarat Capres Tanpa Threshold Bakal Dibahas Lewat Revisi UU Pemilu
"Hasilnya, yang pertama memang paling tinggi itu adalah isu tentang ketersediaan lapangan kerja, sebesar 47.30 persen. Dan sayangnya, jawaban mayoritas dari mahasiswa adalah bahwa isu ini belum terlalu banyak diangkat oleh capres,” papar Peneliti PolGov UGM, Faiz Kasylfiham dikutip dari laman UGM, Kamis (5/10/2023).
Alasan isu ketenagakerjaan menjadi prioritas utama responden ada kaitannya dengan persaingan ekonomi yang luas di era ini.
Mahasiswa dengan kelas ekonomi menengah ke bawah menyatakan kekhawatirannya akan lapangan kerja.
Baca Juga:
Kemungkinannya 99% MK Akan Menolak Sengketa PHPU Terkait Pilpres 2024
Bahkan, sebesar 35,27% responden merasa kurang yakin akan mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Selain isu tenaga kerja, posisi kedua ditempati oleh isu penegakkan hukum, dan isu biaya pendidikan di posisi ketiga.
“Kalau dihitung dari sekarang masa kampanye ini kurang lebih satu bulan lagi, ya. Siapapun yang akan menjadi presidennya, itu adalah pilihan dari 200 juta orang lebih. Hal penting lain adalah, pemilih cenderung memilih yang agak signifikan berdasarkan proporsi, yaitu kelompok pemilih muda," terangnya.
Berdasarkan data ini ada 50 persen setara dengan 100 juta lebih.
"Dari jumlah tersebut, ada kelompok yang bisa memengaruhi kelompok lainnya untuk memilih, yaitu mahasiswa,” jelas Dosen DPP UGM, Arya Budi.
Kelompok mahasiswa sengaja dipilih karena dianggap kelompok yang cukup dominan dan memiliki perhatian yang tinggi terhadap politik, serta mempunyai pengaruh yang besar terhadap publik.
Arya juga menjelaskan, meskipun isu prioritas mahasiswa adalah tersedianya lapangan kerja, terdapat hasil data yang agak berlawanan.
Sebanyak 40,12 persen responden mengaku yakin akan mendapat pekerjaan setelah lulus. Fakta ini menunjukkan dua sisi responden terhadap dua pertanyaan berbeda.
Ketika ditanya tentang isu yang harusnya diprioritaskan oleh capres, responden memosisikan diri sebagai pengamat.
Sedangkan saat responden berperan sebagai pelaku, atau seseorang yang akan bekerja, mereka merasa yakin akan mendapat pekerjaan.
“Jadi, ini dua hal yang berbeda. Rasa aman mereka terhadap pascakampus akan seperti apa. Dan bagaimana prospek yang disediakan oleh pilihan-pilihan politik di tahun depan. Kalau misalnya ada capres yang membuka peluang pasar kerja bukan sekedar relasi industrial, seperti entrepreneurship. Apalagi sekarang dengan media digital. Tentunya itu akan menjadi ceruk baru,” tambah Arya.
Hasil survei tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut, terutama pemaknaan mahasiswa akan “lapangan kerja” yang menjadi keresahan utama.
Lapangan kerja di sektor formal, tentunya akan jauh berbeda dengan pekerjaan non-formal.
Dimensi tersebut juga akan memberikan hasil yang berbeda dalam isu prioritas mahasiswa.
[Redaktur: Zahara Sitio]