WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pendidikan tinggi secara faktual tidak sekadar tentang selembar ijazah sarjana, tapi tentang membuka pintu-pintu peluang yang sebelumnya tertutup.
Di era yang terus berevolusi ini, gelar sarjana menjadi kunci pembuka cakrawala baru: membentangkan jaringan koneksi yang menjangkau berbagai lapisan profesional, mengasah kemampuan berpikir kritis yang mengubah cara kita memandang dunia, dan menciptakan peluang karier yang tidak hanya menjanjikan kesejahteraan, tapi juga kepuasan dalam berkarya.
Baca Juga:
Bupati Tolitoli Amran Hi Yahya Ajak Masyarakat Tingkatkan Produktivitas Kelapa Sawit
Namun, siapa sangka, jumlah lulusan sarjana di Indonesia ternyata berbeda-beda berdasarkan suku. Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis daftar suku dengan persentase lulusan sarjana terbanyak di tahun 2024.
Hasilnya cukup mengejutkan! Suku Batak menempati peringkat pertama dengan 18,02% penduduknya berhasil meraih gelar sarjana.
Di posisi kedua, Suku Minangkabau menyusul dengan selisih tipis, yaitu 18,00%.
Baca Juga:
BPS Catat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Kalbar dengan Gini Ratio 0,314 hingga September 2024
Sementara itu, Suku Bali dan Bugis berbagi posisi ketiga dengan persentase yang sama, yakni 14,54%. Berikut adalah daftar lengkapnya berdasarkan data BPS:
Batak – 18,02%
Minangkabau – 18,00%
Bali – 14,54%
Bugis – 14,54%
Betawi – 14,38%
Melayu – 12,67%
Banjar – 11,24%
Jawa – 9,56%
Sunda – 7,59%
Madura – 4,15%
Keunggulan Suku Batak dalam dunia akademik tentu bukan tanpa alasan. Menurut pengamat sosial, Togar Butar-Butar, filosofi hidup masyarakat Batak menjadi faktor utama yang mendorong mereka untuk mengejar pendidikan setinggi mungkin.
"Secara adat, masyarakat Batak dikenal kuat dan konsisten dalam prinsip hidupnya. Mereka memiliki kesadaran tinggi bahwa kecerdasan intelektual harus berjalan seiring dengan kecerdasan kultural. Ini sudah menjadi tradisi turun-temurun," ujar Togar Butar-Butar, dikutip dari Mashable Indonesia.
Filosofi hidup yang dipegang erat oleh masyarakat Batak terdiri dari tiga prinsip utama:
Hamoraon (kekayaan)
Hagabeon (keturunan sukses)
Hasangapon (kehormatan)
Menurut Togar, pendidikan adalah kunci utama untuk meraih ketiga prinsip tersebut. Tak heran jika banyak orang tua Batak rela berkorban habis-habisan demi menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang tertinggi.
Mereka bahkan tak segan untuk menahan lapar, berhutang, dan mengikutsertakan anak-anaknya dalam berbagai les demi memastikan masa depan yang lebih cerah.
Pandangan Sains
Nah, bagaimana relevansi semangat belajar suatu suku atau komunitas masyarakat jika dilihat dari pandangan ilmiahnya?
Menurut sains, ketika seseorang belajar atau mengejar capaian akademik, otak melepaskan dopamin ke dalam nucleus accumbens - area otak yang dikenal sebagai "pusat kesenangan". Proses ini mirip dengan apa yang terjadi ketika kita makan makanan lezat atau mencapai sebuah prestasi.
Dopamin membuat pengalaman belajar terasa menyenangkan, menciptakan "hadiah kimia" di otak.
Dopamin tidak hanya membuat seseorang merasa senang, tapi juga mengaktifkan sirkuit motivasi di otak. Ini terjadi di area tegmental ventral (VTA) yang terhubung dengan korteks prefrontal.
Ketika sirkuit ini aktif, kita mengalami peningkatan energi mental, rasa penasaran yang lebih besar, dan keinginan kuat untuk terus belajar
Intinya, studi neurobiologi menunjukkan bahwa dopamin, neurotransmiter yang terkait dengan motivasi dan kesenangan, memainkan peran kunci dalam proses pembelajaran.
Dr. Robert Sapolsky dari Stanford University dalam bukunya "Behave" (2017) mengungkapkan bahwa pelepasan dopamin tidak hanya terjadi secara individual, tetapi dapat diperkuat melalui interaksi sosial.
Ketika sekelompok orang memiliki semangat belajar yang sama, terjadi fenomena "social learning" yang meningkatkan pelepasan dopamin secara kolektif.
Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai komunitas tradisional sebagaimana yang terjadi pada suku Batak.
Penelitian antropolog Catherine Lutz di komunitas Ifaluk di Mikronesia menemukan bahwa semangat belajar kolektif dalam ritual dan kegiatan komunal menciptakan apa yang dia sebut sebagai "collective effervescence" - sebuah kondisi di mana motivasi belajar individual diperkuat oleh energi kelompok.
Penemuan serupa juga didokumentasikan oleh antropolog Jean Lave dalam studinya tentang komunitas praktisi tradisional, di mana pembelajaran melalui pengamatan dan partisipasi sosial menghasilkan tingkat keterlibatan yang sangat tinggi.
Jadi, otak manusia memiliki "social learning network" yang teraktivasi lebih kuat ketika pembelajaran terjadi dalam konteks sosial.
Ketika suatu komunitas atau suku memiliki tradisi pembelajaran yang kuat, jaringan neural ini menjadi lebih responsif, menciptakan apa yang dia sebut sebagai "cascade effect" - di mana semangat belajar satu individu dapat menular ke seluruh komunitas, didukung oleh pelepasan dopamin yang berkelanjutan dalam konteks sosial.
Nah, dengan semangat pantang menyerah dan tekad yang kuat, tak heran jika Suku Batak mendominasi daftar lulusan sarjana terbanyak di Indonesia.
[Redaktur: Sandy]