WAHANANEWS.CO Jakarta - Pemerintah Swedia memutuskan untuk mengubah sistem pendidikan dengan kembali menggunakan buku cetak sebagai media pembelajaran utama.
Keputusan ini diambil setelah selama 15 tahun Swedia menerapkan sistem pendidikan berbasis perangkat digital, seperti komputer dan tablet.
Baca Juga:
Debat soal Palestina Memanas, Menlu Swedia Dihujani Tomat dan Bawang
Pada awalnya, Swedia optimis bahwa penggunaan perangkat digital akan mengubah sistem pendidikan menjadi lebih mudah diakses dan mempersiapkan siswa menghadapi tuntutan digital abad ke-21.
Pada tahun 2009, Swedia pun memutuskan untuk menggantikan seluruh buku cetak dengan perangkat digital sebagai media pembelajaran. Namun, transisi tersebut tidak memberikan hasil sesuai harapan.
Banyak orang tua mengeluhkan dampak negatif sistem ini, terutama pada keterampilan dasar membaca dan menulis siswa yang semakin menurun.
Baca Juga:
Raih 18 Trofi Selama Karir, Ini Profil Sven-Goran Eriksson yang Meninggal Dunia
"Saya melihat anak saya terganggu oleh gim dan media sosial selama jam sekolah, yang memengaruhi prestasi akademis mereka," ungkap seorang ibu bernama Maria Svensson.
Para pendidik juga menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan berkonsentrasi dan mengingat informasi saat menggunakan perangkat digital, dibandingkan dengan metode pembelajaran berbasis buku cetak.
Meski Swedia tetap menduduki peringkat tinggi dalam standar pendidikan global, penurunan keterampilan siswa terlihat nyata.
Data dari Studi Kemajuan dalam Literasi Membaca Internasional (PIRLS) menunjukkan bahwa rata-rata skor siswa kelas 4 Swedia menurun dari 555 pada tahun 2016 menjadi 544 pada tahun 2021.
Di tahun yang sama, Singapura meraih skor tertinggi dengan 587, naik dari 576 di tahun 2016.
Penurunan tersebut sebagian disebabkan oleh pandemi Covid-19, tetapi penelitian dari Dewan Riset Swedia untuk Kesehatan, Kehidupan Kerja, dan Kesejahteraan (Forte) juga mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis perangkat digital memiliki dampak negatif pada siswa.
“Dampak layar dengan lampu latar pada konsentrasi dan pemahaman jauh lebih signifikan daripada yang kami perkirakan,” ujar Anna Lindstrom, seorang pakar pendidikan di Institut Pendidikan Nasional Swedia.
Ia juga menambahkan, “Siswa sering menggunakan perangkat teknologi untuk bermain gim atau menjelajahi internet selama berjam-jam di sekolah, yang mengurangi keterlibatan mereka di kelas.”
Keresahan ini telah lama dirasakan masyarakat. Pada tahun 2022, Menteri Sekolah Swedia, Lotta Edholm, menyatakan bahwa siswa Swedia membutuhkan lebih banyak buku pelajaran.
"Buku fisik penting untuk pembelajaran siswa," tegas Edholm, seperti dikutip dari The Guardian. Pada Agustus 2023, ia mengumumkan bahwa pemerintah ingin membatalkan aturan yang mewajibkan penggunaan perangkat digital di prasekolah.
Langkah ini bahkan diperluas dengan menghentikan pembelajaran digital untuk anak-anak di bawah usia enam tahun.
Bukti ilmiah dari Institut Karolinska Swedia turut mendukung keputusan ini. Lembaga tersebut menyatakan bahwa perangkat digital dapat menghambat kemampuan siswa dalam memahami informasi yang kompleks.
“Kami percaya bahwa fokusnya harus kembali pada perolehan pengetahuan melalui buku teks cetak dan keahlian guru, daripada memperoleh pengetahuan terutama dari sumber digital yang belum diverifikasi keakuratannya,” jelas seorang peneliti.
Pemerintah Swedia memutuskan untuk mengambil langkah konkret dengan menginvestasikan 104 juta Euro (sekitar Rp 1,74 triliun) untuk menyediakan buku cetak bagi setiap siswa di semua mata pelajaran.
Selain itu, anggaran tersebut juga akan digunakan untuk mendukung kampanye kesadaran serta membantu sekolah selama masa transisi.
“Langkah ini adalah tentang menemukan keseimbangan,” kata Menteri Pendidikan Lena Johansson.
“Kami tidak meninggalkan perangkat digital sepenuhnya, tetapi memastikan bahwa perangkat tersebut melengkapi, bukan menggantikan aspek dasar pembelajaran,” imbuhnya.
Dengan kebijakan ini, Pemerintah Swedia berharap dapat meningkatkan kembali keterampilan dasar siswa sekaligus tetap memanfaatkan teknologi digital sebagai alat pendukung, bukan sebagai pengganti metode pembelajaran tradisional.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]