WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di era digital yang semakin maju, cara berbelanja masyarakat dunia berubah drastis karena kini transaksi bisa dilakukan hanya dengan satu klik dari layar ponsel.
E-commerce telah mengubah pola konsumsi, mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga barang mewah, dan mempengaruhi perilaku konsumen secara global.
Baca Juga:
BPOM Temukan Kosmetik Ilegal Senilai Rp31,7 Miliar, Mayoritas Produk Impor
Menurut laporan Digital 2025 Global Overview Report yang dirilis DataReportal pada Jumat (9/8/2025), Amerika Serikat dan China menempati posisi teratas sebagai negara dengan persentase belanja ritel online tertinggi di dunia.
DataReportal, sebuah platform yang menyediakan statistik digital global komprehensif dan menjadi referensi bagi jurnalis, peneliti, pemasar, serta pembuat kebijakan, mencatat bahwa Amerika Serikat memimpin dengan 33,7 persen belanja ritel secara daring, diikuti China dengan 31,2 persen.
Baca Juga:
Tips Belanja Online Aman dan Nyaman Jelang Lebaran
Angka ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan banyak negara maju lain, menunjukkan dominasi Amerika Serikat dan China dalam tren belanja digital di tingkat global.
Berikut daftar 10 negara dengan pangsa belanja ritel online tertinggi versi DataReportal: Amerika Serikat (33,7%), China (31,2%), Inggris (23,2%), Korea Selatan (22,0%), Belanda (20,9%), Kanada (17,9%), Jepang (16,2%), Italia (14,9%), Jerman (14,6%), dan Norwegia (14,5%), dengan rata-rata dunia sebesar 17,3 persen.
Sayangnya, Indonesia tidak termasuk dalam negara yang disurvei oleh DataReportal dalam laporan ini.
Sementara itu, analisis terbaru dari Public Desire, perusahaan fesyen daring asal Inggris, menyajikan peringkat negara-negara yang paling terobsesi dengan belanja online berdasarkan beberapa metrik utama.
Public Desire mengukur berdasarkan waktu rata-rata yang dihabiskan online setiap minggu, persentase penduduk yang berbelanja daring setiap bulan, serta persentase rata-rata pendapatan yang dialokasikan untuk belanja daring.
Perusahaan ini juga menyoroti pengaruh media sosial seperti TikTok yang semakin berperan dalam mendorong penjualan dan mempererat hubungan antara merek dan pelanggan.
“Masa depan e-commerce sedang dibentuk oleh integrasi media sosial dan pembayaran seluler,” ujar juru bicara Public Desire.
“Menariknya, infrastruktur pembayaran digital kini lebih memprediksi tingkat keterlibatan belanja online dibanding status ekonomi suatu negara,” tambahnya.
“Hal ini terlihat jelas pada tren perdagangan sosial, di mana konsumen menghabiskan waktu untuk menjelajahi dan berinteraksi dengan konten belanja sebagai bagian dari rutinitas media sosial mereka.”
Berikut adalah 10 negara paling terobsesi dengan belanja online versi Public Desire:
Prancis berada di peringkat kesepuluh dengan rata-rata pengeluaran 4,3% dari pendapatan dan waktu 1 jam 45 menit per minggu untuk berbelanja daring.
Swedia di posisi kesembilan menghabiskan 3,1% pendapatan dan 38 menit per minggu untuk aktivitas belanja online.
Polandia menempati posisi kedelapan dengan alokasi 3,1% pendapatan dan waktu 1 jam 44 menit per minggu.
Belanda di peringkat ketujuh mengalokasikan 5% pendapatan dan waktu 2 jam 12 menit setiap minggu untuk belanja daring.
Amerika Serikat menduduki posisi keenam dengan pengeluaran 4,3% pendapatan dan waktu 2 jam 5 menit per minggu.
Meksiko di posisi kelima menghabiskan 5,5% pendapatan dan 2 jam 52 menit per minggu untuk belanja online.
Inggris menempati peringkat keempat dengan 8,8% pendapatan dialokasikan dan waktu 2 jam 4 menit untuk berbelanja daring setiap minggu.
Taiwan berada di posisi ketiga, menghabiskan 6,1% pendapatan dan 4 jam 27 menit per minggu.
Korea Selatan menempati peringkat kedua dengan rata-rata alokasi 8,5% pendapatan dan waktu 4 jam 39 menit setiap minggu.
Posisi pertama ditempati China yang menghabiskan 3,8% pendapatan untuk belanja daring dengan waktu rata-rata 8 jam 5 menit setiap minggu.
Perkembangan ini menunjukkan bagaimana e-commerce semakin melekat dalam gaya hidup masyarakat dunia dan dipengaruhi oleh kemajuan teknologi pembayaran serta interaksi sosial digital.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]