Buruknya kondisi ini membuat beberapa orang menyebut tren ini sebagai momentum kepunahan startup.
Padahal, dulunya perusahaan-perusahaan rintisan ini mudah menggalang uang. AdacWeWork, yang mengumpulkan dana US$11 miliar, Convoy yang menghasilkan SU$900 juta. Kini, keduanya mengajukan pailit.
Baca Juga:
Elektabilitas PAN Tetap Kokoh di Urutan Keenam Menurut Survei IPO Terbaru
"Sejumlah besar modal masih terperangkap di startup tahap akhir dan tahap pertumbuhan ventura yang ragu-ragu untuk bertaruh apakah kinerja keuangan mereka dapat bertahan dari pengawasan ketat publik," demikian temuan laporan PitchBook, dikutip CNN Business, Jumat (8/12/2023).
Para investor yang dulu mengucurkan miliaran dolar AS untuk mendanai perusahaan-perusahaan rintisan tampak tidak senang dengan fenomena ini.
Selama bertahun-tahun sebelumnya para pemodal ventura, angel investor hingga miliarder menggelontorkan uangnya ke perusahaan startup teknologi.
Baca Juga:
PalmCo, Subholding BUMN Sawit PTPN III, Tunda Rencana IPO Namun Tetap Persiapkan
Valuasi atau nilai perusahan pun melonjak sehingga bermunculam unicorn, sebutan bagi startup bernilai US$1 miliar atau lebih.
Namun, dalam konteks tingkat suku bunga yang tinggi, ketidakpastian ekonomi, dan krisis perbankan, startup baru menghadapi kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan yang cukup.
Mereka mengalami kesulitan untuk memperoleh investasi baru.