WahanaNews.co | Dosen sekaligus peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor (IPB) Nugraha Edhi Suyatma membeberkan hasil pengamatannya terkait pelabelan BPA free kemasan.
Menurutnya, Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, sudah sangat jelas menyebutkan bahwa produk-produk yang secara alami tidak mengandung suatu bahan, dilarangmengeklaim free dari bahan yang tidak dikandungnya itu. Ambil contoh, minyak goreng nonkolesterol.
Baca Juga:
Warga Perbatasan Sukabumi-Bogor Resah dengan Keberadaan Geng Motor yang Meneror
“Ini tidak boleh karena minyak goreng itu pada dasarnya kan memang tidak mengandung kolesterol,” sebutnya, dalam diskusi media dengan topik “Perlu Tidaknya Peringatan Zat Kimia Berbahaya di Kemasan Pangan Dicantumkan Pada Label” secara daring, melansir jpnn, Selasa (21/3/2023).
Berdasarkan pengamatannya, Nugraha melihat air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan bahan plastik selain polikarbonat dan melabelinya dengan bebas BPA, itu sangat berisiko dan berpotensi lebih membahayakan konsumen.
Jika kemasan plastik boleh mencantumkan free BPA, masyarakat kan tidak mengetahui bahwa pada kemasan itu juga ada zat-zat kimia yang lebih berisiko
Baca Juga:
Bahayakan Kesehatan, BPKN: Waspadai AMDK dengan Bromat Melebihi Batas Aman
"Padahal, pada kemasan itu terdapat juga zat-zat kimia yang lebih berisiko seperti PVC, PS, PET dan melamin, itu semuanya kan mengandung senyawa berbahaya juga,” bebernya.
Dia menyebutkan, PET yang sebenarnya sudah populer dengan kandungan EG atau etilen glikol dan DEG atau dietilen glikolnya disinyalir juga bisa menyebabkan gagal ginjal dan ginjal akut.
Selain itu, juga ada asetaldehida yang terbentuk saat reaksi proses pembuatan pencetakan film atau kemasan, juga bisa menyebabkan karsinogenik.
Ada juga antimon trioksida yang sifatnya bisa karsinogen. Kemudian Phthalate yang toksik pada sistem reproduksi dan endokrin atau hormonal. Juga kemasan berbahan plastik Polystyrene yang banyak dipakai untuk styrofoam, bisa menyebabkan karsinogen bagi manusia.
“Jadi, bisa digambarkan betapa pelabelan free BPA dari kemasan yang nggak ada BPA-nya itu lebih membahayakan konsumen," ucapnya.
Memang benar, menurutnya, plastik tersebut tidak mengandung BPA, namun mengandung senyawa yang berbahaya. Masyarakat harus diberitahu tentang bahan kimia berbahaya dalam kemasan pada label. Bukannya malah bangga melabeli kemasannya dengan free BPA.
Sahid Hadi, peneliti ekonomi dan HAM di Pusat Penelitian HAM Universitas Islam Indonesia (UII), yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut, mengatakan ada rasa persaingan bisnis terhadap pelabelan bebas BPA ini.
"Pelabelan seperti itu terkesan tidak adil dan sangat menjatuhkan kemasan produk-produk pangan yang mengandung BPA seperti kemasan galon guna ulang,” katanya.
Tugas negara yang paling penting, sebutnya, adalah memastikan bisnis air minum dalam kemasan tidak berbahaya bagi kesehatan. Ia mengatakan satu galon AMDK bukan hanya satu galon untuk sekali pakai, tetapi juga galon lainnya yang digunakan ulang, yang semuanya harus diperlakukan secara adil.
Jika mereka sudah mengetahui bahwa air kemasan galon banyak macamnya, pemerintah harus memastikan bahwa kemasan galon apapun tidak boleh membahayakan kesehatan masyarakat.
"Seluruh AMDK galon itu harus diidentifikasi tingkat keberbahayaannya pada kesehatan publik. Jadi, bukan hanya berfokus pada galon guna ulang saja,” tuturnya.
Terkait pelabelan free BPA pada galon non Polikarbonat ini, Sasmito Madrim, Ketua Umum Aliansi Independen (AJI), yang juga menjadi pembicara menekankan pentingnya peran media dalam melindungi masyarakat dari kemasan-kemasan yang membahayakan kesehatan.
"Media pun, seharusnya menyajikan informasi-informasi yang sudah valid, terbukti kebenarannya, supaya publik kemudian bisa mengambil keputusan-keputusan yang tepat,” katanya. [afs/eta]