WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus hukum yang melibatkan PT Investree Radika Jaya (Investree) kini menjadi sorotan publik dan dianggap sebagai salah satu skandal terbesar di sektor fintech lending nasional.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, masyarakat mengalami kerugian hingga Rp2,7 triliun akibat dugaan praktik pengelolaan dana yang tidak sah serta aktivitas penghimpunan dana tanpa izin.
Baca Juga:
Adrian Gunadi Bos Pinjol yang Bangkrut, Kini Ditangkap
Adrian Gunadi, mantan Direktur Utama Investree, akhirnya berhasil ditangkap setelah sebelumnya masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan menjadi buronan internasional melalui red notice.
Penangkapan dilakukan berkat kerja sama OJK dengan aparat kepolisian.
Adrian diduga kuat terlibat dalam penghimpunan dana masyarakat secara ilegal dan menyalahgunakan dana tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati investor maupun pengguna jasa.
Baca Juga:
Kredit dan Aset BPR Naik, Tapi Jumlah Bank Turun 45 dalam Setahun
Dalam konferensi pers di Gedung 600, Tangerang, Banten, Jumat (26/9/2025), Adrian sempat dihadirkan ke depan awak media dengan mengenakan rompi tahanan oranye.
Usai ditampilkan, ia segera digiring kembali oleh petugas. Sementara itu, OJK menjelaskan perkembangan kasus di hadapan publik.
"Otoritas Jasa Keuangan bersama Kepolisian Republik Indonesia serta sejumlah kementerian dan lembaga terkait telah memulangkan dan menahan saudara AAG, mantan Direktur PT Investree Radika Jaya, yang diduga melakukan kegiatan penghimpunan dana masyarakat tanpa izin OJK," ujar Deputi Komisioner Bidang Hukum dan Pendidikan OJK, Yuliana, dikutip, Senin (29/9/2025).
Kasus ini dinilai sebagai pelajaran penting bagi industri fintech lending agar lebih berhati-hati, transparan, dan patuh terhadap regulasi.
OJK menegaskan bahwa setiap perusahaan yang bergerak di sektor jasa keuangan wajib memiliki izin resmi serta menerapkan prinsip akuntabilitas penuh dalam mengelola dana masyarakat.
Dalam proses hukumnya, penyidik OJK bekerja sama dengan Kejaksaan Agung untuk menjerat Adrian menggunakan Pasal 46 Juncto Pasal 16 Ayat 1 dan 4 Undang-Undang Perbankan, serta Pasal 305 Ayat 1 Juncto Pasal 2370A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan (P2SK), ditambah Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Adrian terancam hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 10 tahun.
Sekretaris NCB Interpol, Untung Widyatmoko, menambahkan bahwa kerugian akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp2,7 triliun.
Ironisnya, di tengah status tersangka, Adrian diketahui sempat meniti karier baru di luar negeri.
Pada Juli 2025 lalu, ia diangkat sebagai CEO JTA Holding Qatar, bagian dari JTA International Investment Holding yang berbasis di Singapura.
Dalam situs resminya, perusahaan itu menampilkan profil Adrian sebagai figur global yang berpengalaman di industri keuangan digital.
"CEO: Adrian A Gunadi. operator global dan wirausahawan berpengalaman yang memimpin pertumbuhan teknologi keuangan di berbagai pasar Asia Tenggara," demikian tertulis di laman resmi JTA Holding.
Salah satu entitasnya, JTA Investree Doha Consultancy, beroperasi di Qatar dengan fokus pada pengembangan solusi perangkat lunak serta teknologi kecerdasan buatan untuk pinjaman digital.
Perusahaan ini menyasar kemitraan dengan berbagai institusi keuangan di Timur Tengah, Asia, hingga Afrika.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]